REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tidak ada penambahan indikator atau asumsi dalam menghitung subsidi listrik dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 174 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik. Beberapa poin yang baru muncul merupakan bentuk penegasan dari aturan sebelumnya, PMK Nomor 44 Tahun 2017.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu Wawan Sunarjo mengatakan, asumsi ekonomi makro seperti Indonesian Crude Price (ICP), kurs dan inflasi sudah menjadi faktor dalam penghitungan subsidi listrik sebelumnya. "Ini lebih dikarenakan penegasan aturan terkait asumsi dan parameter yang dalam perhitungan subsidi listrik di PMK 174/2019," tutur Wawan ketika dihubungi Republika, Selasa (2/12).
Asumsi ekonomi makro tersebut tertuang dalam Pasal 8 Ayat 1 dalam regulasi terbaru. Wawan mengatakan, penerapan serupa juga diberlakukan pada parameter subsidi listrik lian seperti jumlah kWh dan pertumbuhan penjualan.
Dalam parameter subsidi listrik, Kemenkeu juga menambah poin Specific Fuel Consumption (SFC), yakni konsumsi bahan bakar spesifik yang dibutuhkan oleh unit pembangkit tenaga listrik untuk menghasilkan satu kWh energi listrik bruto.
Penambahan poin dalam regulasi PMK 174/ 2019 juga terkait rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Khususnya dalam LK BUN (Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara) 2018 tentang Parameter," ucap Wawan.
PMK 174/2019 ditetapkan pada 22 November dan diundangkan pada 25 November 2019. Sejak PMK ini mulai berlaku, PMK terdahulu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, beberapa poin baru yang tercantum dalam PMK 174/2019 sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Hanya saja, ketentuan tersebut belum dituliskan dalam regulasi terdahulu.
Askolani menyebutkan, penambahan poin mengenai parameter subsidi listrik tidak hanya didiskusikan di kalangan internal Kemenkeu. Pihaknya turut melibatkan Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis.
"Kalau kita mau ganti variabel, masukan dari ESDM harus kita review," katanya saat ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa.