REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menuturkan, Indonesia harus lebih terbuka dengan investasi asing. Sebab, peranan investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami peningkatan. Menurut data Badan Pusat Statistik, kontribusinya pada kuartal ketiga tahun lalu adalah 32,07 persen yang meningkat menjadi 32,32 persen pada periode sama di tahun ini.
Salah satunya upaya yang bisa dilakukan adalah pemerintah meminimalkan daftar negatif investasi (DNI). Setidaknya, hanya sekitar belasan sektor usaha atau klasifikasi baku lapangan usaha (KBLI). Tujuannya, agar investor dapat lebih leluasa dalam melakukan investasi. "Khususnya untuk investasi yang bentuk atau tipe usahanya belum pernah kita pikirkan," kata Shinta ketika dihubungi Republika, Rabu (20/11).
Shinta mengakui, keterbukaan tersebut memiliki risiko. Tapi, dunia usaha, pemerintah maupun masyarakat harus menghadapinya dengan lebih positif dan ‘kepala dingin’ mengingat banyak dampak positif yang tercipta dari investasi asing itu.
Shinta menyebutkan, investasi yang masuk melalui DNI umumnya merupakan investasi di sektor riil. Investasi tersebut akan tinggal di Indonesia dalam kurun waktu menengah-panjang. Berbeda dengan investasi pasar modal yang dananya cepat masuk dan cepat keluar.
Bagaimanapun, investasi sektor riil akan mendatangkan kapital berupa uang, teknologi ataupun inovasi ke Indonesia. Di sisi lain, menciptakan pekerjaan, multiplikasi keterampilan, dan menghasilkan pajak bagi Indonesia ketika kegiatan usaha mereka berjalan dengan baik. "Dari sisi short term gain dan long term gain, efeknya positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Shinta.
Shinta menekankan, keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing bukan berarti kita dijajah oleh asing. Sebab, pemerintah Indonesia tetap memiliki kedaulatan untuk mengatur regulasi usaha dan investasi di Indonesia.
Hanya saja, pemerintah harus memastikan bahwa regulasi usaha yang mengatur dan mengikat investor asing maupun investor dalam negeri diberlakukan sama. "Artinya, persaingan usaha nasional bisa berjalan dengan sehat," ucap Shinta.
Keterbukaan ini dilihat Shinta sebagai sebuah keniscyaan. Cepat atau lambat, sektor-sektor usaha yang selama ini terproteksi oleh DNI tetap akan menghadapi persaingan asing di pasar kita sendiri. Sebab, Indonesia memiliki banyak perjanjian perdagangan yang mengekspos pasar terhadap produk barang, jasa serta investasi asing.
Di sisi lain, Shinta menambahkan, Indonesia memiliki terlalu banyak potensi ekonomi yang tidak dapat digarap sendiri. Pasalnya, kita masih kekurangan modal, teknologi dan kemampuan manajemen. "Kalau mau pertumbuhan ekonomi kita bergerak cepat untuk keluar dari middle income trap, kita harus dibantu oleh pelaku asing yang berkompeten," katanya.