Rabu 13 Nov 2019 09:03 WIB

Supermarket Harus Adaptasi Konsep Minimarket

Masyarakat kini cenderung memilih belanja dengan kuantitas rendah di minimarket.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Minimarket (ilustrasi)
Foto: dok.Istimewa
Minimarket (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menilai, ritel modern dengan bentuk hipermarket dan supermarket harus melakukan transformasi. Sebab, pertumbuhan konsumsi barang kebutuhan sehari-hari yang sifatnya cepat habis atau disebut Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di dua jenis ritel tersebut mengalami pertumbuhan negatif.

Dalam catatannya, Agus menjelaskan, pertumbuhan konsumsi FMCG selama periode September 2018 hingga September 2019 hipermarket dan supermarket kontraksi 5,8 persen. Sedangkan, format minimarket mampu tumbuh hingga double digit, yakni 12 persen.

"Penurunan pangsa pasar ritel tradisional (hipermarket dan supermarket) harus segera ditangani agar tidak timbulkan gejolak sosial," katanya dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) di Jakarta, Selasa (12/11).

Agus mengatakan, penurunan konsumsi di ritel berbentuk hipermarket dan supermarket menggambarkan perubahan gaya konsumsi masyarakat. Dari yang semua gemar berbelanja dalam skala besar, kini cenderung memilih belanja dengan kuantitas rendah.

Alasan lain, Agus menambahkan, keberadaan minimarket yang lebih tersebar menyebabkan masyarakat lebih akrab dengan ritel jenis itu. Terlebih, lokasinya lebih mudah dijangkau karena banyak di antara mereka yang memilih membangun minimarket dekat perumahan.

Pergeseran gaya belanja masyarakat itu tidak bisa ditampik mengingat tren serupa juga terjadi di internasional. Oleh karena itu, Agus berharap, para pelaku usaha ritel hypermarket dan supermarket dapat mengantisipasi perlambatan pertumbuhan konsumsi FMCG dengan cara adaptasi.

"Mereka diharapkan dapat menyesuaikan konsep bisnis dengan pangsa pasar," ucapnya.

Meski ada catatan di dua jenis ritel modern itu, Agus menilai, prospek bisnis ritel saat ini masih menunjukkan tren positif. Pertumbuhan konsumsi FMCG di ritel modern pada periode September 2018 hingga September 2019 mampu tumbuh 7,6 persen. Angka ini lebih besar dibandingkan pertumbuhan konsumsi FMCG secara umum dalam periode yang sama, yakni 2,5 persen.

Selain mengharapkan adaptasi dari ritel hipermarket dan supermarket, Agus juga memberikan catatan lain pada ritel modern. Di antaranya, penguatan kemitraan antara ritel modern dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam pengadaan barang.

Ritel modern dinilai Agus sudah memiliki akses pengadaan dan distribusi lebih baik. Oleh karena itu, mereka berkewajiban membantu ritel tradisional seperti warung dalam pengadaan barang dagangan.

"Dengan pasokan stabil, diharapkan dapat memberikan manfaat berkesinambungan," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengakui, ritel saat ini masih underperformed. Tapi, ia menegaskan, penyebabnya bukan karena pelemahan daya beli masyarakat, melainkan pelemahan konsumsi.

Roy menjelaskan, dua poin tersebut memiliki perbedaan. Sementara daya beli bersifat intangible, konsumsi yang kerap menjadi basis pemerintah dalam menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) adalah tangible. "Banyak faktor yang membuatnya (konsumsi) rendah," ucapnya.

Roy memastikan, ritel modern di bawah naungan Aprindo berupaya mengantisipasi tren perlemahan konsumsi dengan menahan laju inflasi. Salah satunya dengan menjadi price leader atau penentu harga, terutama untuk kebutuhan pokok, dengan tetap berkoordinasi bersama pemerintah. Misalnya, terkait komoditas beras, gula, minyak goreng, daging dan yang terakhir, bawang putih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement