Kamis 03 Jul 2025 21:10 WIB

Stimulus Mengalir, tapi Daya Beli Masyarakat Belum Pulih Penuh

Meski insentif diperluas, daya beli belum tunjukkan pemulihan signifikan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Friska Yolandha
Warga membawa belanjaan menggunakan kantong plastik di Pasar Atas Baru, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (9/6/2025). Pemerintah Kota Cimahi berencana menerapkan aturan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang akan diterapkan paling lambat pada awal tahun 2026 dengan sasaran awal toko modern dan pasar tradisional guna mengurangi penggunaan plastik sekali pakai yang menjadi salah satu penyumbang sampah terbanyak di kota itu dengan persentase mencapai 22 persen.
Foto: ANTARA FOTO/Abdan Syakura
Warga membawa belanjaan menggunakan kantong plastik di Pasar Atas Baru, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (9/6/2025). Pemerintah Kota Cimahi berencana menerapkan aturan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang akan diterapkan paling lambat pada awal tahun 2026 dengan sasaran awal toko modern dan pasar tradisional guna mengurangi penggunaan plastik sekali pakai yang menjadi salah satu penyumbang sampah terbanyak di kota itu dengan persentase mencapai 22 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah kembali menggencarkan berbagai insentif untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan global yang belum mereda. Namun, di balik derasnya stimulus, pemulihan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya solid. Risiko pelebaran defisit pun makin nyata.

“Pelaksanaan APBN 2025 luar biasa menantang, tetapi kami tetap berusaha menstabilkan dan menjaga APBN tetap kredibel dan menjadi instrumen yang dapat diandalkan guna melaksanakan program-program prioritas pemerintah,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (3/7/2025).

Baca Juga

Perekonomian Indonesia tumbuh 4,87 persen pada triwulan I 2025, sebagian besar ditopang oleh konsumsi selama Ramadan dan Idulfitri. Meski tergolong tinggi di antara negara anggota G20, angka tersebut dinilai belum cukup kuat menyerap tekanan eksternal yang makin meningkat pada triwulan II.

Pemerintah merespons dengan sejumlah stimulus tambahan, seperti diskon transportasi dan tarif tol, bantuan sosial, subsidi upah, hingga perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Sebelumnya, insentif berupa diskon tarif listrik dan keringanan pajak bagi sektor padat karya telah dikucurkan sejak awal tahun.

Namun, hingga kini belum terlihat indikator yang menunjukkan lonjakan signifikan dalam daya beli masyarakat. Sejumlah sektor, terutama manufaktur, mulai terdampak pelemahan ekonomi global. Pemerintah juga menghadapi tekanan fiskal yang makin berat.

Hingga Juni, belanja negara telah mencapai Rp 1.407,1 triliun, sementara pendapatan baru menyentuh Rp 1.210,1 triliun. Defisit APBN semester I tahun ini tercatat sebesar 0,81 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan diperkirakan melebar menjadi 2,78 persen pada akhir tahun, melampaui target dalam APBN 2025.

Sebagian besar anggaran terserap untuk mendanai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), bantuan sosial, dan pembangunan sekolah unggulan. Namun, efektivitas program-program tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka menengah masih perlu dievaluasi.

Risiko fiskal jangka panjang juga tidak bisa diabaikan. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook edisi April 2025 menurunkan proyeksi pertumbuhan global menjadi 2,8 persen. Sementara Bank Dunia (World Bank) memprediksi hanya 2,3 persen. Eskalasi perang tarif, konflik geopolitik, serta pelemahan ekonomi China menjadi tantangan nyata bagi ketahanan ekonomi nasional.

“Menjaga kesehatan APBN menjadi sangat penting sebagai instrumen utama dalam menjaga stabilitas makroekonomi, menopang daya tahan perekonomian nasional, serta mendorong pencapaian target pembangunan di tengah ketidakpastian global yang terus berlanjut,” tegas Sri Mulyani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement