Selasa 12 Nov 2019 16:37 WIB

Aprindo: Pertumbuhan Ritel Masih Terhambat Hingga Tahun 2020

Pertumbuhan sektor ritel tidak mencapai double digit.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Konsumen/ilustrasi
Foto: IST
Konsumen/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menilai, pertumbuhan ritel sampai tahun depan masih menghadapi hambatan besar baik dari eksternal ataupun internal. Ia memproyeksikan, tingkat pertumbuhan hanya berada di rentang delapan sampai sembilan persen, tidak lebih baik dibandingkan realisasi tahun lalu yang juga tumbuh di bawah 10 persen.

Tutum mengatakan, salah satu faktor penghambat pertumbuhan ritel adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Kondisi ini menyebabkan barang-barang dari China yang tidak dapat masuk ke AS ataupun sebaliknya, masuk ke pasar Indonesia.

Baca Juga

"Barang yang mereka tidak tersalurkan, akan ke negeri ini dan jadi banjir," ujarnya ketika ditemui di Musyawarah Nasional Aprindo di Jakarta, Selasa (12/11).

Tapi, Tutum menegaskan, pertumbuhan ritel yang tidak mencapai double digit tersebut merupakan gambaran umum. Apabila berbicara sektor, masih ada beberapa di antaranya yang menunjukkan kinerja baik.

Sebut saja minimarket dengan pertumbuhan hingga 12 persen sepanjang Januari sampai September 2019. Penyebabnya, mereka banyak menjual produk kebutuhan utama yang cenderung terus dibeli masyarakat.

Tutum menegaskan, perlambatan tidak hanya terjadi di ritel. Presiden Joko Widodo (Jokowi), menteri-menteri bidang ekonomi dan analisa kerap menyampaikan pandangan mengenai pertumbuhan masing-masing sektor. "Tapi, semua sedang berusaha untuk tetap mempertahankan pertumbuhan di tingkat lima persen," ucapnya.

Sampai akhir tahun, Tutum menuturkan, pemerintah masih berharap banyak terhadap pertumbuhan konsumsi di libur panjang Natal dan Tahun Baru. Ia memproyeksikan, konsumsi yang tinggi pada dua momen besar itu mampu mendorong pertumbuhan ritel 10 sampai 15 persen dibandingkan bulan-bulan normal. Khususnya penjualan baju yang mungkin tumbuh sampai 20 persen.

Tutum mengakui, banyak transformasi yang sudah dilakukan industri untuk menghadapi perlambatan ini. Di antaranya memanfaatkan omnichannel atau memanfaatkan platform online dengan offline sekaligus hingga mengubah format. Misal, dari sekadar berjualan kebutuhan utama masyarakat, kini sudah banyak pengusaha ritel yang menambah fasilitas permainan dan kafetaria.

Hanya saja, Tutum menuturkan, transformasi tersebut tidak dapat memberikan dampak signifikan dalam waktu cepat terhadap pertumbuhan ritel. Tidak menutup kemungkinan juga bagi mereka untuk mengubah format apabila transformasi belum menunjukkan dampak positif dalam hitungan waktu satu sampai dua tahun. "Itu lah kinerja ritel," tuturnya.

Hambatan terhadap ritel juga diperkirakan Tutum tetap berlangsung pada 2020. Ia berharap, pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri Cina Xi Jinping dapat segera direalisasikan dan mencapai kesepakatan baru. Apabila tidak terjadi, produk dari luar negeri, terutama Cina yang memiliki harga murah, akan semakin membanjiri Indonesia. Terlebih, Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi besar mengingat jumlah rakyatnya yang banyak.

Selain faktor eksternal, Tutum menambahkan, industri ritel juga berharap banyak pada faktor internal. Salah satunya, pembangunan infrastruktur yang masif dan merata. Menurutnya, pembangunan ini akan mampu mendorong pertumbuhan ritel melalui penurunan biaya logistik. "Ini logika yang selama ini kita keluhkan," katanya. 

Sementara itu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, industri ritel memiliki peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi perdagangan dan konsumsi. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal ketiga 2019, sektor perdagangan memiliki kontribusi 13 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), sementara konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52 persen dari total PDB.

Selain kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, Agus menambahkan, sektor ritel berperan dalam memasarkan produk dalam negeri, terutama yang dihasilkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, menjaga kestabilan harga barang dan membantu penyerapan tenaga kerja.

"Oleh karena itu pemerintah berupaya mengeluarkan kebijakan dalam menjamin keseimbangan antar iklim usaha yang sehat di sektor riil," ucapnya.

Hanya saja, Agus tidak menyebutkan upaya tersebut secara detail. Ia hanya menjelaskan, pemerintah siap memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada pengusaha ritel.

Berbeda dengan penilaian Tutum, Agus justru melihat, prospek bisnis ritel masih menunjukkan tren positif yang dapat dilihat dari indikator pertumbuhan konsumsi barang kebutuhan sehari hari atau Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Pertumbuhan konsumsi FMCG selama September 2018 sampai September 2019 tumbuh positif 2,5 persen. Di tingkat ritel modern sendiri, konsumsi FMCG tumbuh 7,6 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement