REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT, Anwar Sanusi, menyebutkan, pihaknya sudah melaksanakan pemantauan penggunaan dana desa secara ketat. Ada peraturan-peraturan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum dana desa dapat diberikan.
"Istilah siluman dan lainnya itu sebetulnya kan persoalan administratif. Tapi kalau terkait dengan yang namanya persoalan penggunaan dana desa, ini menurut kami adalah secara teknokratis, kita itu sudah betul-betul cukup ketat untuk melihat atau memantau penggunaan dana desa," ujar Anwar di Jakarta Timur, Jumat (8/11).
Ia menjelaskan, untuk penyaluran dana desa, ada beberapa hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu terkait dokumen administratif. Menurutnya, hal pertama yang harus dipenuhi itu Peraturan Bupati (Perbub) yang menyangkut pengalokasian dana desa. Alokasi dana itu yang kemudian dijadikan pertimbangan bagi desa-desa untuk menyusun Anggara Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
"Kemudian dengan adanya Perbup itu juga pertimbangan dari Kementerian Keuangan untuk menyalurkan dana desa. Sehingga tentunya kami memiliki keyakinan, yang namanya alokasi tersebut tentunya adalah disalurkan bagi yang melengkapi administrasi," ujarnya.
Menurut Anwar, jika kemudian ada temuan masyarakat yang menyatakan ada desa yang tidak ada tapi menerima dana desa, maka itu bukan ranah Kemendes PDTT untuk menindaklanjutinya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada aparat hukum untuk menyelesaikannya.
Ia menjelaskan, Kemendes PDTT memiliki sistem informasi yang dikenal dengan nama sistem informasi pembangunan desa. Sistem informasi itu dapat memberikan gambaran berapa dana desa yang dialokasikan ke setiap desa dan juga digunakan untuk apa.
"Jadi Insyaallah desa yang disebutkan tadi di dalam lapangan, dari sisi admnistratif, mudah-mudahan tidak ada persoalan. Dan kalau ada persoalan tentunya kita akan kembalikan ke ranah hukum. Kita sudah membentengi dari sisi regulasi dan sebagainya cukup ketat," jelas dia.
Sebelumnya, Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar, memerintahkan para pendamping desa untuk melakukan verifikasi ke lapangan soal adanya desa fiktif. Tapi, ia meminta untuk dimalkumi terkait jalannya proses tersebut karena jumlah pendamping desa yang hanya setengah dari jumlah total desa di Indonesia.
"Kita minta para pendamping desa melakukan verifikasi apa benar di wilayahnya, di sekitarnya ada fakta-fakta seperti itu. Nah nanti kita akan footing ke Kemenkeu, ke Kemendagri, untuk bahan tambahan dan menjadi bagian dari evaluasi," ujar Abdul di Kemendes PDTT, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (5/10).
Dalam proses verifikasi itu, peran pendamping desa menjadi penting. Tapi, kondsi yang ada saat ini, jumlah pendamping desa hanya setengah dari jumlah total desa yang ada di Indonesia. Menurut Abdul, jumlah desa di Indonesia ada sekitar 74 ribu desa, sedangkan jumlah pendamping desa hanya 37 ribu.
"Sehingga satu banding dualah rata-rata sampai hari ini kita belum bisa mencover secara total satu desa satu pendamping," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Abdul mengaku akan memperpendek rasio perbandingan tersebut. Ia akan mencoba meminta penambahan pendamping desa agar rasio perbandingannya tidak lagi satu banding dua, melainkan setidaknya satu banding 1,5.
"Kalo mungkin satu banding satu. Tapi kalau tidak mungkin ya satu banding 1,5 atau bagaimana supaya lebih mudah lagi pemantauan kita terhadap penggunaan, perencanaan, dan pengawasan dana desa," terangnya.