Ahad 27 Oct 2019 13:24 WIB

Belanja Pemerintah Jadi Mesin Utama Dorong Ekonomi

Ekonomi Indonesia dinilai sulit tumbuh lebih dari 5,08 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, belanja pemerintah akan menjadi satu-satunya mesin pertumbuhan yang dapat diharapkan mampu mendorong ekonomi sampai akhir tahun. Tapi, mesin ini tetap sulit membantu ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 5,08 persen sepanjang 2019.

Kebergantungan ekonomi Indonesia terhadap belanja pemerintah dikarenakan mesin lain seperti ekspor-impor dan investasi belum dapat bekerja maksimal seiring tren perlambatan ekonomi global sampai saat ini. "Sampai akhir tahun, hanya dapat optimalisasi belanja pemerintah," ucap Tauhid ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (27/10).

Baca Juga

Hanya saja, dorongan belanja pemerintah tidak akan terlalu signifikan dibandingkan mesin pertumbuhan ekonomi lain. Oleh karena itu, Tauhid memprediksi, ekonomi masih akan melambat. Senada dengan proyeksi pemerintah, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran lima hingga maksimal 5,1 persen.

Untuk menjaga momentum itu, Tauhid menekankan, pemerintah harus fokus mendorong belanja yang dapat menciptakan lapangan kerja di sektor infrastruktur. Upaya ini dinilainya dapat menciptakan multiplier effect ke mesin pertumbuhan lain, terutama daya beli masyarakat. Sebab, masyarakat bisa memiliki pendapatan untuk kemudian dibelanjakan dalam memenuhi kebutuhan.

Di sisi lain, Tauhid menilai, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penghematan belanja barang dan pegawai. Belanja tersebut sebaiknya dialihkan pada belanja modal. Meski dampaknya dirasakan jangka panjang, multiplier effect dari belanja modal ke ekonomi lebih signifikan dibandingkan sekadar belanja barang maupun pegawai.

Di tengah perlambatan ekonomi global, Tauhid menyebutkan, kebijakan pemerintah untuk melebarkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah hal realistis. Kebijakan itu terutama untuk menambal shortfall perpajakan saja.

"Diperkirakan, nilai yang perlu ditutupi adalah Rp 150 triliun sampai Rp 200 triliun," katanya.

Salah satu antisipasi pemerintah dalam mengatasi pelebaran defisit adalah intensif menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Tauhid menyebutkan, upaya ini paling mudah mengingat pemerintah yang sulit melakukan penghematan belanja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement