Jumat 25 Oct 2019 07:40 WIB

Rendahnya Transmisi Kredit karena Masalah Struktural

Perbankan mati-matian harus berebut dana murah.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti (kiri) dan Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto (kanan) menyampaikan keterangan pers tentang hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Oktober 2019 di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti (kiri) dan Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto (kanan) menyampaikan keterangan pers tentang hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Oktober 2019 di Jakarta, Kamis (24/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan bunga acuan Bank Indonesia (BI) kali ini dinilai relatif kecil efektivitasnya bagi stimulus pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan ekonomi. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan ini terjadi karena ada masalah struktural.

"Penurunan suku bunga acuan penting, tapi disaat kondisi likuiditas bank mengetat maka transmisi nya akan sangat lambat," kata dia pada Republika.co.id, Kamis (24/10).

Baca Juga

Loan to Deposit Ratio (LDR) bank secara rata-rata mencapai 94,6 persen yang artinya bank mati-matian harus berebut dana murah. Jika bank terlalu cepat ikuti BI, khawatir dana akan pindah ke bank yang mempertahankan bunga tinggi.

"Kondisi ini ditambah masalah struktural, struktur perbankan yang tidak sehat," kata dia.

Persaingan antar 115 bank dinilai membuat bank bank kecil paling menderita ditengah perang likuiditas. Merger dan akuisisi berjalan sangat lambat. Idealnya, kata Bhima, OJK juga harus mendorong konsolidasi perbankan agar transmisi penurunan bunga acuan lebih cepat.

Jadi masalah yang harus dipecahkan adalah pelonggaran likuiditas. BI bisa turunkan lagi GWM-nya atau lakukan operasi moneter lain. Untuk bank yang likuiditasnya ketat, pilihan menawarkan obligasi bisa jadi alternatif pendanaan.

"Namun, ditengah risiko pasar yang naik, tidak semua bank bisa terbitkan obligasi dan laku," katanya.

Bank kecil misalnya, cenderung konservatif. Mau terbitkan obligasi khawatir bunganya mahal dan segmentasi pembelinya juga terbatas. Jadi tidak semua bank bisa dengan cara terbitkan obligasi. Sementara untuk bank buku III dan IV relatif mudah.

Sinyal bank yang berlomba cari pendanaan alternatif jelas menunjukkan DPK sedang melambat. Beberapa bank khawatir repatriasi dana tax amnesty kembali keluar dari bank pascakontrak wajib pajak dengan pemerintah berakhir.

Ini juga perlu diantisipasi pemerintah agar likuiditas bank tetap aman. Sementara, menurut Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE), Piter Redjalam Abdullah, BI juga tidak bisa mengeluarkan kebijakan bersifat pengecualian atau hanya untuk kelompok bank tertentu.

"Saya kira kebijakan dari BI sudah cukup, memang perlu waktu dan perlu diimbangi oleh kebijakan fiskal dan sektor riil yang juga longgar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement