Kamis 17 Oct 2019 15:56 WIB

Kementan: Industri Pengolahan Telur Dibutuhkan

Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Pekerja mememasukkan telur ayam siap tetas saat pemusnahan di PT Charoen Pokphand Jaya Farm, Desa Margasari, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (28/6/2019).
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Pekerja mememasukkan telur ayam siap tetas saat pemusnahan di PT Charoen Pokphand Jaya Farm, Desa Margasari, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (28/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Impor tepung telur dalam beberapa tahun terakhir mengalami lonjakan signifikan. Namun, kenaikan impor tepung telur terjadi disaat produksi telur ayam dalam negeri meningkat. Kementerian Pertanian (Kementan) menilai, terdapat kekosongan dalam industri pemrosesan telur. Peran swasta dinantikan untuk membuka usaha di bidang produksi tepung telur.

Dari data Badan Pusat Statistik yang dipaparkan dalam focus group discussion (FGD) perintisan industri pengolahan telur di Jakarta, Kamis (17/10), impor kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan, I Ketut Diarmita, mengatakan, produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat 1 juta ton. Tahun 2019, potensi produksi telur mencapai 4.753.382 ton dengan rata-rata produksi per bulan 395.187 ton.

Produksi tersebut telah melampaui kebutuhan telur nasional tahun ini sebanyak 4.742.240 ton dengan rata-rata konsumsi per bulan 395.187 ton. Dengan begitu, kata Ketut, Indonesia tahun ini sudah mencapai surplus telur 11.143 ton. 

"Telur makin lama makin banyak, tapi saya juga melihat impor telur kita naik. Ada keanehan. Telur meningkat tapi impor tepung naik," kata Ketut di Jakarta, Kamis siang.

Ketut mengakui, tidak adanya industri pengolahan telur dalam negeri menjadi penyebab ketidaksinkronan atas produksi telur dan impor tepung telur. Menurut dia, impor tepung telur memerlukan rekomendasi Kementan. Namun, Pemerintah untuk sementara tidak dapat melarang impor tepung telur yang digunakan oleh industri makanan dalam negeri karena belum diproduksi.

"Mau apalagi? karena memang kita belum punya pabrik tepung telur. Artinya ke depan industri ini sangat penting karena tren (produksi dan konsumsi) telur akan meningkat," kata Ketut menambahkan.

Kementan, kata Ketut, siap memfasilitasi para pelaku industri perunggasan yang ingin berinvestasi mendirikan pabrik tepung telur. Perusahaan integrator perunggasan diharapkan menjadi pihak yang berinvestasi di bidang pengolahan. Sebab, menurutnya, para integrator yang mengetahui detail kebtuhan pasar akan tepung telur.

Tanpa kontribusi integrator perunggasan, ia menilai harapan tumbuhnya industri pengolahan telur tidak akan terwujud. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena butuh dukungan dunia usaha. 

"Kita dukung dari segi regulasi dan fasilitasi. Kemampuan kita hanya mendorong integrator supaya mau berinvestasi," kata dia.

Fasilitas yang dapat diberikan, menurut Ketut, yakni mengurangi hambatan perizinan terutama soal izin pengurusan tanah untuk kegiatan industri. Sementara belum adanya industri pengolahan telur di dalam negeri, Kementan tetap fokus pada tugas utama untuk menjaga produksi sesuai kebutuhan.

Pihaknya pun mengimbau kepada industri untuk menyampaikan kebutuhan tepung telur dalam negeri dan tidak mengimpor secara berlebihan. "Jangan impor sesuka hati, mereka harus menyampaikan market share," tuturnya.

Pendirian industri pengolahan telur juga berguna sebagai penyerap telur dalam negeri yang setiap tahun kerap mengalami kejatuhan harga. Kondisi itu secara langsung sangat merugikan peternak mandiri. Industri pengolahan telur juga sekaligus memberikan nilai tambah bagi produksi telur di dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement