REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, keputusan interim atau sementara antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina bisa berdampak positif terhadap ekonomi Indonesia. Khususnya melalui kinerja ekspor yang selama satu tahun terakhir menghadapi perlambatan akibat dampak perang dagang dari dua negara ekonomi dunia tersebut.
Pada Jumat pekan lalu, AS dan Cina melakukan penandatanganan kesepakatan garis besar perjanjian perdagangan parsial. Sri berharap, hal ini bisa memberikan multiplier effect hingga menahan laju penurunan ekspor Indonesia.
"Nanti kita lihat ya," ujarnya ketika ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (14/10).
Tapi, Sri mengakui, perkembangan perekonomian secara global masih diliputi ketidakpastian. Tidak hanya akibat perang dagang, juga perlambatan negara maju seperti negara-negara di Eropa maupun Brexit.
Kombinasi faktor-faktor eksternal ini yang mempengaruhi secara negatif komponen di ekonomi Indonesia, terutama ekspor-impor. Hasil akhirnya, pertumbuhan ekonomi ikut tertahan atau bahkan diprediksi melambat.
Di sisi lain, Sri menyebutkan, faktor internal juga menjadi penghambat ekonomi Indonesia melaju signifikan. Terjadi pelemahan kondisi kegiatan di dalam negeri yang berdampak pada penurunan tingkat impor, terutama bahan baku dan barang modal.
"Impor ini sudah menunjukkan leading indicator, yang selama ini sudah negatif itu menggambarkan mereka juga akan mengurangi stok atau mungkin juga pengaruhnya kepada growth," kata Sri.
Dengan kolaborasi antara faktor eksternal dan internal, Sri menyebutkan, pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir 2019 adalah 5,08 persen. Angka ini di bawah target pemerintah dalam Undang-Undang APBN 2019, yaitu 5,3 persen.
Sri berharap, target tersebut dapat dicapai dengan pertumbuhan investasi yang berada di level lima persen pada kuartal ketiga dan keempat nanti. Selain itu, konsumsi juga diharapkan tumbuh seiring dengan stabilitas harga.
"Bahkan, dengan deflasi, kita berharap posisi indeks confidence konsumen cukup kuat sehingga (pertumbuhan konsumsi) bisa terjaga di lima persen," tuturnya.
Sebelumnya, Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir 2019 berada di titik 5,0 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding dengan proyeksi awal yang disampaikan Bank Dunia pada April lalu, 5,2 persen.
Kondisi ekonomi Indonesia akan membaik pada 2021 dan 2022 dengan tingkat pertumbuhan masing-masing 5,1 persen dan 5,2 persen. Data ini disampaikan Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Andrew Mason dalam presentasinya ‘Weathering Growing Risk’, laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019 yang dirilis Bank Dunia, Rabu (10/10).