REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) menggulirkan kembali rencana penerbitan obligasi daerah dengan membentuk tim percepatan. Kepala Biro BUMD dan Investasi Setda Jabar Noneng Komara mengatakan rencana obligasi daerah empat tahun terakhir ini mengalami penundaan meski sudah memiliki banyak kemajuan.
Menurutnya skema pendanaan obligasi daerah digulirkan kembali karena Pemprov Jabar optimistis bisa menghimpun dana publik. “Prosesnya kami lanjutkan lagi, sekarang akan dibentuk tim percepatan,” ujar Noneng, Jumat (11/10).
Tim khusus ini akan bertugas mengawal seluruh proses penerbitan obligasi daerah dari mulai konsultasi dengan lembaga di tingkat Pusat, merumuskan rancangan peraturan daerah (Perda) bersama DPRD Jawa Barat. Tim ini gabungan personel yang ditunjuk dari Bappeda, Badan Pendapatan, Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Biro BUMD dan Investasi.
Tugas tim tersebut antara lain merumuskan besaran obligasi yang dibutuhkan, menentukan tenor, mencari anchor, underwriter, hingga menentukan proyek-proyek infrastruktur mana saja yang bisa dibiayai dengan skema tersebut. “Dari mulai proyeknya, raperda hingga perda, nanti tim ini akan menjadi unit yang mengurusi urusan obligasi sesuai kapasitas masing-masing,” katanya.
Meski pada 2013 lalu Pemprov Jabar sudah pernah mendapatkan shadow rating untuk penerbitan obligasi daerah AA minus dari PT Perfindo, Noneng memastikan upaya mendapatkan rating itu harus mulai lagi dari awal. Nantinya, tim percepatan ini akan menghitung seluruh kebutuhan detail obligasinya.
Namun, kata Noneng, ia belum bisa memastikan besaran dana yang bisa digaet dari masyarakat lewat obligasi daerah ini. Gambarannya, lewat obligasi ini setidaknya Pemprov Jabar secara bertahap bisa meraih pendanaan hingga Rp10 triliun.
“Akan bertahap tidak sekaligus Rp10 triliun, tahun pertama misalnya untuk membangun proyek apa, tahun berikutnya apa,” katanya.
Noneng optimistis, skema obligasi akan diminati masyarakat sebagai salah satu bentuk investasi. Hal tersebut, terlihat dengan banyaknya masyarakat yang menjadi korban investasi bodong menunjukan minat pada investasi meski tidak aman sangat tinggi.
“Kalau obligasi jelas dan aman, kasus investasi bodong menunjukan masyarakat kita punya uang, tapi tidak mendapat edukasi yang benar soal investasi,” katanya.