REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menilai penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi ketidakpastian baru seputar kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) pasca Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana merombak Federal Reserve (The Fed). Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Senin (21/4/2025) di Jakarta menguat sebesar 70 poin atau 0,41 persen menjadi Rp 16.807 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.877 per dolar AS.
“Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett mengatakan pada hari Jumat bahwa Presiden Trump dan timnya terus mempelajari apakah mereka dapat memecat Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Hal ini memicu kekhawatiran tentang independensi Fed, sehingga mengirimkan riak ke pasar keuangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Dalam sebuah unggahan di media sosial miliknya, Truth Social, pada 17 April 2025, Trump menyatakan antara lain bahwa "Powell’s termination cannot come fast enough!”.
Makna dari unggahan tersebut adalah Trump sangat menanti-nanti momen ketika Powell diberhentikan dari jabatannya sebagai pucuk pimpinan bank sentral AS.
Bahkan, pada hari yang sama, berbagai media internasional juga melaporkan Trump telah berkata kepada para wartawan bahwa "Saya (Trump) tidak senang dengan dia (Powell). Saya membuat dia mengetahuinya.”
Salah satu pemicu yang membuat Trump tak suka dengan Powell adalah mengenai paparan penilaian suram oleh Gubernur The Fed terhadap prospek ekonomi terhadap perombakan tarif besar-besaran Trump sejak 3 April 2025.
Selain itu, beberapa kali Trump telah mendorong Fed untuk segera menurunkan suku bunga, tetapi Powell mengatakan pihaknya masih membutuhkan "kejelasan yang lebih besar" mengenai dampak kebijakan tarif Trump sebelum melakukan tindakan apapun.
Faktor lain dari penguatan rupiah ialah perkiraan sejumlah rilis data AS pada pekan ini yang akan melemah.
“Investor tengah mencermati sejumlah rilis data AS minggu ini, termasuk PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur dan jasa bulan April, untuk mengetahui arah perekonomian. Rangkaian rilis PMI minggu ini dapat semakin menggarisbawahi dampak tarif terhadap perekonomian, dengan kondisi manufaktur dan jasa di berbagai negara ekonomi utama diperkirakan akan melemah,” ucap Ibrahim.