Kamis 10 Oct 2019 11:02 WIB

Bank Dunia Proyeksikan Indonesia Hanya Tumbuh 5 Persen

Tingkat utang yang tinggi juga membatasi kemampuan untuk gunakan kebijakan moneter.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Pertumbuhan ekonomi
Foto: Republika
Pertumbuhan ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir 2019  berada di titik 5 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding dengan proyeksi awal yang disampaikan Bank Dunia pada April lalu, 5,2 persen. 

Kondisi ekonomi Indonesia akan membaik pada 2021 dan 2022 dengan tingkat pertumbuhan masing-masing 5,1 persen dan 5,2 persen. Data ini disampaikan Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Andrew Mason dalam presentasinya ‘Weathering Growing Risk’, laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019 yang dirilis Bank Dunia, Rabu (10/10). 

Baca Juga

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi tidak hanya dialami Indonesia. Dalam presentasi Mason, terlihat bahwa pemangkasan prediksi juga dilakukan Bank Dunia terhadap negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik hingga 0,2 persen. Pada April, pertumbuhan ekonomi kawasan adalah 6 persen yang kini direvisi menjadi 5,8 persen. 

Mason menjelaskan, ada dua faktor yang menguji ketahanan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Pertama, pelemahan permintaan global, termasuk dari Cina. 

"Kemudian, meningkatnya ketidakpastian ketegangan perdagangan AS-Cina yang sedang berlangsung dan menyebabkan penurunan ekspor serta pertumbuhan investasi," tuturnya melalui teleconference dari Kantor Bank Dunia Bangkok, Rabu. 

Laporan ini memperingatkan, risiko penurunan pertumbuhan kawasan telah meningkat. Ketegangan perdagangan yang berkepanjangan antara Cina dan Amerika Serikat akan terus menekan pertumbuhan investasi, mengingat tingkat ketidakpastian yang tinggi. Kondisi ini semakin ditekan dengan perlambatan di cina yang terjadi lebih cepat dari perkiraan dan kondisi Brexit. 

Tingkat utang yang tinggi dan meningkat di beberapa negara juga membatasi kemampuan mereka untuk menggunakan kebijakan moneter dan fiskal guna mengurangi dampak perlambatan. Tiap perubahan mendadak dalam kondisi keuangan global dapat berdampak pada biaya pinjaman yang lebih tinggi untuk kawasan tersebut, mengurangi pertumbuhan kredit dan semakin membebani investasi swasta maupun pertumbuhan ekonomi di kawasan. 

Dalam menghadapi risiko yang terus meningkat, Mason menjelaskan, negara-negara dengan ruang kebijakan yang cukup dapat menggunakan langkah-langkah fiskal dan/ atau moneter. "Khususnya untuk membantu merangsang pertumbuhan ekonomi mereka," ujarnya. 

Mason menambahkan, langkah tersebut dilakukan sambil menjaga kesinambungan fiskal dan utang. Negara-negara di kawasan ini juga akan mendapatkan manfaat dengan terus mempertahankan keterbukaan perdagangan serta memperdalam integrasi perdagangan regional. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement