REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, saya sering mendengar tentang bai' wa salaf (jual beli dan pinjaman). Apa saja hadis-hadis Rasulullah terkait dengan al-bai' wa as-salaf? Apakah hadis-hadis tersebut hadis sahih yang bisa dijadikan landasan hukum? Dan seperti apa maknanya menurut para ulama? Mohon penjelasan dari Ustaz.
Nasih - Aceh
---
Waalaikumussalam wr wb.
Walaupun hadis-hadis tentang larangan menggabungkan jual beli dan pinjaman itu sahih dan menjadi landasan hukum. Namun, menurut standar AAOIFI dan banyak ulama salaf dan khalaf, kombinasi keduanya dalam satu transaksi (produk) itu diperkenankan selama tidak menjadi rekayasa untuk melakukan kredit berbunga.
Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam dua poin berikut.
Pertama, hadis-hadis yang menjelaskan larangan bai' wa as-salaf itu sebagian hadis sahih, hadis hasan sahih, hasan lighairihi, dan hadis dhaif.
Hadis-hadis sahih, di antaranya hadis Amr ibnu Syu'aib, "Sesungguhnya tidak boleh dua syarat dalam jual beli dan tidak boleh jual beli (digabung) dengan pinjaman." (Al-Mu'jam al-Ausath 1498). Lalu, hadis Amr ibnu Syu'aib, "Tidak halal pinjaman dengan jual beli." (HR an-Nasa'i 4611).
Sedangkan, hadis-hadis hasan lighairihi, di antaranya hadis Amr ibnu Syu'aib, "Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu akad jual beli dan jual beli dengan pinjaman."
Hadis Ibnu Abbas, "Sesungguhnya pemesanan janin unta yang ada dalam kandungan adalah riba." (HR. Ahmad dan Nasa'i).
Hadis Abdullah ibnu Amr ibnu al-Ash: "Tidak boleh dua syarat dalam satu jual beli dan tidak boleh menggabungkan jual beli dengan pinjaman." (HR Ibnu Hibban dan Abd ar-Razzaq).
Sedangkan, hadis-hadis dhaif, di antaranya Hadis Hakim ibnu Hizam, "Rasulullah SAW melarang menjual suatu barang yang bukan miliknya." Hadis Mali, "Bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli (digabung) dengan pinjaman."
Kesimpulannya, dengan adanya hadis sahih dan hasan tersebut maka menjadi landasan hukum larangan menggabungkan jual beli dan pinjaman.
Kedua, ulama berbeda-beda memaknai jual beli dan pinjaman dalam hadits tersebut.
(a) Bermakna umum, pinjaman adalah seluruh akad-akad sosial, dan jual beli adalah seluruh akad-akad bisnis. Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Tidak boleh menggabungkan antara transaksi bisnis dan sosial. Larangan melakukan rekayasa tersebut bersifat pasti."
(b) Bermakna khusus (akad pinjaman dan jual beli/sewa). Standar AAOIFI Nomor 19 tentang Qardh menegaskan: "Tidak boleh mensyaratkan jual beli, akad sewa, atau akad mu'awadhah, lainnya yang digabung dengan pinjaman."
Para ulama ahli fikih dan hadis memberikan beragam contoh salaf dan bai' yang dilarang karena menjadi rekayasa kredit berbunga.
Sebagian ulama memberikan contoh: “Saya jual kepadamu satu komoditas seharga Rp 1.000 dengan syarat engkau meminjamkan kepadaku Rp 1.000.” Ash-Shan'ani menjelaskan, "Seseorang yang ingin membeli komoditas melebihi harga standar, maka ia memberikan pinjaman kepadanya agar bisa menambah harga jual sebagai rekayasa."
Imam Ahmad menjelaskan, "Seseorang memberikan pinjaman kepada pihak lain, kemudian menjual komoditas kepadanya agar bisa menambah harga."
Maksudnya, kreditur mendapatkan manfaat berupa penambahan harga jual, debitur terpaksa setuju dengan harga jual karena jasa pinjaman. Qardh menjadi transaksi inti bagi kreditur, sedangkan jual beli sebagai pelengkap/alat untuk mendapatkan manfaat.
Berdasarkan penjelasan para ulama ahli hadis, ahli fikih termasuk maqashid hadis-hadis tentang bai' wa salaf tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kombinasi jual beli dan pinjaman dalam satu transaksi atau produk itu diperkenankan selama tidak menjadi rekayasa untuk melakukan transaksi yang terlarang seperti kredit berbunga.
Oleh karena itu, produk-produk lembaga keuangan syariah atau bisnis seperti produk pembiayaan rumah dan sejenisnya itu diperkenankan karena tidak ada unsur rekayasa dalam produk tersebut. Wallahu a'lam.