Senin 30 Sep 2019 15:41 WIB

Strategi Tempatkan Investasi di Tengah Ketidakpastian Global

Investor bisa mengombinasikan investasi dalam bentuk emas dan obligasi pemerintah

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolanda
Karyawan beraktivitas di dekat grafik pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Karyawan beraktivitas di dekat grafik pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah ketidakpastian global, investor cenderung bersikap wait and see atau berhati-hati dalam menanamkan modalnya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, investor malah bisa merugi bila salah menempatkan investasi.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan investor perlu mempertimbangkan berbagai hal jika ingin berinvestasi di tengah ketidakpastian ini. "Terutama untuk kondisi indonesia yang nilai rupiah sangat rentan terhadap gejolak global," kata Piter, Senin (30/9).

Baca Juga

Menurut Piter, dalam berinvestasi sebaiknya investor memilih instrumen yang likuid atau mudah dicairkan, aman, dan tahan terhadap gejolak nilai tukar. Terakhir, investor juga perlu mempertimbangkan return atau imbal hasil yang cukup tinggi.

Dalam menempatkan investasi, Piter menyarankan sebaiknya tidak dalam satu bentuk. Tujuannya yaitu untuk meminimalkan risiko. Investor bisa mengombinasikan investasi dalam bentuk emas, obligasi pemerintah, dan juga valas dengan proporsi yang disesuaikan dengan kondisi keuangan.

Senada, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut strategi berinvestasi di tengah ketidakpastian global ini yaitu dengan menghindari dulu aset yang volatilitasnya tinggi, misalnya saham. Investor perlu lebih fokus masuk ke safe haven bisa emas atau surat utang pemerintah. 

"Harga emas secara global sampai siang ini sudah naik 24,7 persen dalam setahun terakhir menjadi 1.493 usd per ounce. Bunga surat utang juga masih tinggi di atas 7 persen untk tenor 10 tahun," kata Bhima.

Menurut Bhima, investor perlu hati-hati apabila ingin berinvestasi di pasar properti. Pasalnya, pasar properti saat ini trennya masih lesu seiring kelas menengah atas yang menunda pembelian rumah untuk investasi. Ini bisa terlihat dari pertumbuhan KPR yang rendah.

Sedangkan untuk reksa dana, Bhima lebih menganjurkan untuk memilih reksa dana valas dan reksa dana pendapatan tetap dibanding reksa dana saham. "Reksa dana saham kurang menarik. Investor asing sudah keluar Rp 7,6 triliun dalam bentuk nett sells sebulan terakhir," tutur Bhima. 

Bhima menjelaskan saat ini reksa dana pendapatan tetap dalam bentuk obligasi korporasi maupun pemerintah memberikan imbal hasil yang masih cukup tinggi. Selain aman, instrumen ini akan menguntungkan bagi investor. 

Reksa dana valas khususnya dalam dolar juga memberikan return yang cukup tinggi. Ketika rupiah terdepresiasi, biasanya dolar AS akan terus naik. Saat ini, lanjut Bhima, dolar index meningkat 4 persen dalam setahun terakhir ke level 99. Dollar index adalah perbandingan dolar AS terhadap 6 mata uang utama dunia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement