Rabu 25 Sep 2019 07:00 WIB

Petani Tolak RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan

RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dinilai mengkriminalisasi petani

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ani Nursalikah
Petani menanam padi di Kampung Ciseke, Lebak, Banten.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Petani menanam padi di Kampung Ciseke, Lebak, Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah aliansi petani yang tergabung dalam Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menolak  Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) yang bakal menjerat kebebasan petani dalam mengembangkan benih. RUU tersebut dinilai sangat merugikan, menyudutkan, dan mengkriminalisasi petani.

Ketua Pengawas Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan Dewi Hutabarat mengatakan, terdapat 18 aliansi yang secara tegas menolak RUU tersebut. Ia menilai, selama proses penyusunan RUU SBPB, pelibatan petani hampir tidak pernah dan dibuat secara sepihak.

Baca Juga

"Jika tetap disahkan, kita akan ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Ini sangat represif terhadap petani. Petani akan menerima kado pahit kalau ini disahkan," kata Dewi kepada Republika.co.id, Selasa (24/9).

RUU tersebut merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Ia menjelaskan, pada tahun 2012 lalu, sejumlah aliansi telah mengajukan uji materi undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah kemudian mengabulkan permohonan lewat putusan nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa pasal 9 ayat 3 dan pasal 12 ayat 1 undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945.

Dewi menyampaikan, MK telah menyatakan pasal-pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. MK Juga berpendapat pasal-pasal itu dinilai diskriminatif dan dijadikan alat mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan, dan mengedarkan benih.

"Putusan itu berdampak positif bagi perbenihan nasional dan memberikan ruang bagi petani dalam melakukan pelestarian dan pemuliaan benih," ujar dia.

Saat ini, DPR kemudian bakal kembali mengesahkan RUU SBPB. Setelah dipelajari, substansi dari rancangan beleid itu sangat mengebiri hak-hak petani.

Sejumlah pasal bermasalah dalam RUU SBPB tersebut mewajibkan petani kecil untuk melapor atau mengajukan izin kepada pemerintah daerah yang berwenang. Selanjutnya izin diteruskan ke pemerintah pusat.

RUU itu juga telah bertentangan dengan putusan MK tahun 2012 dan membuka ruang bagi pelepasan tanaman rekayasa genetik di Indonesia. "RUU ini juga memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional untuk mengembangkan usahanya dan mengancam serta merampas sumber daya hayati benih-benih lokal," kata Dewi.

Korporasi hanya akan memberikan perlindungan pada varietas yang seragam tanpa melihat kekayaan raham keanekaragaman hayati di Indonesia. Tercatat, terdapat 22 pasal kontroversial dalam RUU tersebut yang mengebiri hak-hak petani. Menurut Dewi, revisi itu didesain oleh DPR dan pemerintah bukan untuk melindungi petani kecil.

"Hak-hak petani semakin dikerdilkan. Justru, malah mengakomodir kepentingan pelaku usaha atau korporasi multinasional," ujar dia.

Ia menegaskan, kegiatan pencarian, pengumpulan, dan penggunaan plasma nutfah atau sumber-sumber genetik adalah bagian dari tradisi turun-temurun yang melekat pada kehidupan petani dan pertanian. Kegiatan itu sudah dilakukan oleh petani sejak manusia mengenal bercocok tanam. Bahkan, sebelum korporasi bermunculan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement