REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap pertumbuhan industri properti dapat membaik seiring dengan berbagai insentif yang diberikan pemerintah pada sektor ini. Sebab, sejak 2015, pertumbuhan industri properti terus menunjukkan perlambatan.
Bahkan, selama empat tahun terakhir, tingkat pertumbuhannya berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara nasional. Karena lesu, Sri mengatakan, harga properti pun ikut menurun.
Dampaknya, kata Menkeu, masyarakat jadi tidak mau berinvestasi di sektor tersebut karena mereka tidak ingin membeli suatu produk yang memiliki proyeksi penurunan harga. "Like it or not, properti di Indonesia dilihat sebagai bagian dari investasi, dibandingkan hanya untuk konsumsi," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Properti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Rabu (18/9).
Dampak lainnya, rasio pajak sektor properti mengalami penurunan sejak 2015. Saat itu, tax ratio sektoralnya adalah 7,93 persen dan terakhir, pada 2018, menurun menjadi 5,50 persen. Menurut Menkeu, ini menjadi salah satu tanda bahwa kinerja properti memang tengah mengalami kontraksi.
Ada beberapa penyebab penurunan tax ratio. Di antaranya, penurunan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sektor properti. Pada 2016, masing-masing jenis pajak ini turun 21,51 persen, 22,96 persen dan 57,23 persen.
Sri mengatakan, setidaknya ada enam kebijakan insentif fiskal di sektor properti yang dilakukan pemerintah. Pertama, memberikan subsidi, melalui subsidi selisih bunga (SSB) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM).
Pada 2018, realisasi keduanya masing-masing adalah Rp 2,29 triliun untuk 202 ribu unit rumah dan Rp 951,25 miliar untuk 237 ribu unit rumah.
Sri menjelaskan, subsidi ini ditujukan agar masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta perbulan dapat mencicil rumah dengan uang muka sangat rendah. Bunganya pun juga direndahkan lima persen dalam 20 tahun fixed.
"Ini dalam rangka dorong demand side. Kalau demand lemah, bisa jadi penyebab (perlambatan sektor properti)," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga meningkatkan batasan tidak kena PPN rumah sederhana sesuai daerahnya. Berikutnya, pembebasan PPN atas rumah/ bangunan korban bencana alam.
Selain itu, pemerintah memberikan insentif untuk hunian mewah. Yaitu, peningkatan batasan nilai hunian mewah yang dikenakan PPh dan PPnBM dari Rp 5-10 miliar menjadi Rp 30 miliar.
"Juga ada penurunan tarif PPh 22 atas hunian mewah, dari lima persen menjadi 15 persen," ujar Sri.
Terakhir, insentif keenam, simplifikasi prosedur validasi PPh penjualan tanah/ bangunan dari semula membutuhkan waktu 15 hari menjadi tiga hari. Sri mengatakan, berbagai insentif ditujukan untuk mendorong gairah sektor properti yang mendorong investasi dan konsumsi atas produk properti.
Sri menyebutkan, efektivitas insentif ini memang tidak akan terlihat instan dan semua kembali lagi pada upaya pengusaha untuk memanfaatkannya. Tapi, berdasarkan respon dari pengusaha, dampak dari insentif baru terlihat pada semester kedua dan tahun depan.
"Mereka sudah positif terhadap itu," ucapnya.
Ketua Komisi Tetap Perundang-undangan dan Kebijakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Eddy Hussy menyebutkan, pengusaha mengapresiasi atas tanggapan pemerintah dalam mengatasi hambatan di sektor properti. Ia menilai, pemerintah terbilang cepat dalam memberikan relaksasi yang memang dibutuhkan sektor properti dalam mendorong pertumbuhan sektoral.
Eddy berharap, relaksasi ini dapat didukung oleh semua pihak, sehingga pertumbuhan sektor properti dapat benar tercapai. Ke depannya, ia juga mengharapkan pemerintah dapat melibatkan pengusaha secara lebih aktif dalam menerbitkan regulasi.
"Kadin properti ataupun Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) properti dapat dilibatkan sebagai partner," katanya.