Selasa 17 Sep 2019 08:20 WIB

Pelaku Properti Minta Pemerintah Rem Aturan Perpajakan

Dengan tidak adanya aturan perpajakan, industri properti akan lebih tenang.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Suasana pembangunan gedung bertingkat di kawasan Cawang, Jakarta, Selasa (10/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Suasana pembangunan gedung bertingkat di kawasan Cawang, Jakarta, Selasa (10/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha properti meminta pemerintah mengerem atau menunda penerbitan kebijakan perpajakan baru. Alasannya, munculnya aturan baru perpajakan sepertu pajak progresif, pajak laba ditahan, hingga pajak final dan nonfinal dianggap menyulitkan pelaku properti dan pengembang dalam menyusun strategi perusahaan. 

Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata juga menyebut bahwa iklim usaha yang kondusif sedang dibutuhkan untuk membawa keluar industri properti keluar dari krisis. "Kami berharap pemerintah tidak ada kebijakan baru di sektor perpajakan. Jadi tidak ada pajak progresif, tidak ada pajak laba ditahan, dan pajak PPh tetap final, sehingga ini secara psikologis akan membuat industri properti dan para pengembang bisa bekerja dengan lebih tenang," kata Soelaeman, Senin (16/9).

Baca Juga

Menurutnya, dengan tidak adanya kebijakan perpajakan yang baru, pelaku properti dan pengembang cukup melanjutkan strategi perusahaan yang ada. Selain itu, konsumen pun tidak dibuat bingung dengan perubahan aturan yang ada.

Usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Senin (16/9) sore, Soelaeman menyebutkan pemerintah memiliki perhatian besar terhadap industri properti. Bahkan, katanya, Jokowi pun mengakui adanya hambatan perizinan yang cukup berat di daerah dan mengganjal tumbuhnya sektor ini.

"Kita melihat numerik dari angka-angka seperti bunga bank, ini sebenarnya lebih rendah daripada saat booming properti tahun 1994. Tapi industri properti dengan numerik suku bunga yang rendah ini masih berat berarti masih ada hambatan psikologis," kata Soelaeman.

Dengan adanya hambatan psikologis ini lah, ujarnya, sebaiknya pemerintah menahan diri untuk menerbitkan kebijakan yang sifatnya mengubah strategi bisnis pengembang. Hingga saat ini, REI ikut membangun 400 ribu unit rumah subsidi. Selain REI, Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) juga menyumbang kontribusi 60 ribu unit rumah subsidi, serta Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) membangun 150 ribu rumah subsidi.

Dalam kesempatan ini, Presiden Jokowi juga merestui pencairan tambahan anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau subsidi rumah sebesar Rp 8,6 triliun pada September 2019 ini. Angka ini setara dengan pembangunan rumah subsidi sebanyak 80 ribu unit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement