Jumat 13 Sep 2019 11:33 WIB

Simplifikasi Cukai Rokok Bisa Pengaruhi Pendapatan Negara

Ketika variasi harga berkurang, maka ada indikasi pasar terpusat di beberapa industri

Diskusi mengenai simplifikasi cukai rokok yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik di Jakarta.
Diskusi mengenai simplifikasi cukai rokok yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua peneliti dari Universitas Padjajaran (Unpad), Satriya Wibawa dan Bayu Kharisma, mengungkap hasil kajian terkait kebijakan cukai rokok. Kajian ini mengupas posisi Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control (FTCC) serta dampak simplifikasi cukai rokok terhadap penerimaan negara, persaingan usaha, dan variabilitas harga.

Dalam penelitiannya, Bayu melakukan simulasi untuk mengaji dampak penggabungan Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.  

“Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per-bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per-bulan," ujar Bayu saat mengikuti diskusi media yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik di Jakarta.

Selanjutnya, pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang. Sedang SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang.  

Imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM pun akan meluas ke berbagai aspek. Bagi pelaku industri golongan II layer 1 dan 2, Bayu mengungkapkan, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka. Akibatnya, ini akan menghilangkan lapangan kerja ketika banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.

Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan 2 menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94 persen. “Simplifikasi bukannya menambah penjualan, yang terjadi pengurangan penjualan produk tembakau yang berakibatkan pada penerimaan negara”, ucap Bayu.

Dari sisi persaingan usaha, Bayu menjelaskan wacana simplifikasi dan penggabungan disebut berpotensi mendorong ke arah oligopoli. Ketika perusahaan yang terdampak oleh simplifikasi dan penggabungan terpaksa diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. “Simplifikasi cukai tembakau akan berakibat pada variasi harga produk tembakau semakin sedikit,” ucap dia.

Pemerintah telah menetapkan tidak ikut serta meratifikasi FCTC karena dianggap sarat kepentingan asing yang berpotensi destruktif terhadap industri tembakau tanah air. Jika diterapkan di Indonesia, hal ini akan berpotensi menamatkan industri tembakau.

Sebagai pengganti, Pemerintah menetapkan peraturan yang sangat ketat untuk memastikan industri ini dapat dikontrol. Namun, beberapa belakangan muncul upaya lain untuk mengubah kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM. Wacana ini masih menjadi polemik di industri tembakau Indonesia.

Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo menambahkan simplifikasi cukai tembakau berpotensi diskriminatif atas prinsip-prinsip persaingan usaha. Ketika variasi harga berkurang, maka ada indikasi pasar terpusat di beberapa industri saja.

Hal ini memunculkan persaingan tidak sehat dengan memainkan perang harga untuk menjatuhkan industri lain. “Jika ada kebijakan jumlah pabrikan berkurang itu lampu kuning bagi kami,” ucap Kodrat Wibowo.

Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto mengatakan multiplier effect industri tembakau sangat besar baik kepada penjual retail. Termasuk bagi satu juta petani cengkeh dan 700 ribu petani tembakau. “Dampak industri ini sangat besar baik hulu maupun hilir industri,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement