Kamis 12 Sep 2019 19:16 WIB

GPPU: Indonesia Minim Label Ayam Halal

Mayoritas sektor perternakan ayam di Indonesia menjalankan prinsip asep kehalalan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memanen ayam broiler dengan sistem kandang tertutup atau close house di Peternakan Naratas Poultry Shop, Kampung Alinayin, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Pekerja memanen ayam broiler dengan sistem kandang tertutup atau close house di Peternakan Naratas Poultry Shop, Kampung Alinayin, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BULUNGAN – Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menyatakan meski aspek halal di peternakan ayam sudah diterapkan, label halal nyatanya belum masif dipenuhi peternak dan kalangan usaha.  Ketua GPPU Achmad Dawami menyatakan, mayoritas sektor perternakan ayam di Indonesia menjalankan prinsip asep kehalalan.

Hanya saja perihal sertifikasi dan label produk halalnya, hal itu belum masif dilakukan. “Ya tapi bnyak (ayam) yang sudah halal, tapi memang  enggak dilabelkan sertifikasi,” ujarnya.

Baca Juga

Terkait dengan dibukanya keran impor ayam Brasil dengan persyaratan label halal yang ditiadakan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, pihaknya meragukan hal tersebut. Menurutnya, pemerintah tak akan mungkin melakukan penyesuaian regulasi dengan mengesampingkan aspek jaminan halal dengan label yang tersemat.

Dari kalangan pengusaha, kata dia, hingga saat ini secara faktual dan resmi belum ada rencana swasta untuk melakukan importasi. Hal tersebut mengingat masih tersedianya pasokan ayam lokal yang tersedia, bahkan berlebih.

“Kalau ada ayam Brasil yang beradar saat ini misalnya, itu dapat dipastikan ilegal. Karena kami tak pernah impor,” ujarnya.

Dia pun meyakini hingga saat ini pun pemerintah belum mengeluarkan satu izin impor pun kepada importir untuk ayam Brasil. Pihaknya berkomitmen selama ini kalangan swasta akan terus berupaya menyerap secara maksimal produksi ayam lokal dan tak menutup kemungkinan akan berpikir untuk mengimpor meski peluangnya belum besar.

“Kalau pun ada pengusaha yang berpikir mau mengimpor, pasti itu dia pikirannya jangka panjang. Buat stok. Kalau-kalau harga ayam lokal tinggi nanti,” ungkapnya.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan peraturan penyesuaian guna memenuhi hasil putusan panel sengketa WTO dengan nomor DS 484 mengenai importasi ayam atas tuntutan Brasil. Salah satunya yakni dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.

Beleid tersebut mengakomodasi perluasan cakupan impor ayam termasuk potongannya. Potongan antara lain meliputi sayap, paha, dan dada. Aturan tersebut juga memunculkan ketentuan untuk tidak mewajibkan adanya label halal terhadap produk yang diimpor untuk tidak lagi dicantumkan.

Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yakni Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan Produk Hewan, disebutkan pada pasal 16 bahwa produk hewan yang diimpor wajib mencantumkan label yang memuat sejumlah informasi. Label tersebut salah satunya memuat informasi mengenai kehalalan suatu produk.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyampaikan, Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tidak secara keseluruhan tidak gamblang meniadakan label halal. Hanya saja dalam beleid tersebut dicantumkan bahwa untuk komoditas yang bersentuhan dengan pangan, maka hal itu harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

"Maka bisa dibilang kalau sudah aktif UU JPH (Undang-Undang Jaminan Produk Halal), maa impor juga wajib mencantumkan logo pangan termasuk logo halal,” ujar Nailul.

Kekalahan sengketa dagang Indonesia di WTO tersebut menurut Nailul memang merupakan bukti kebijakan Kemendag yang keliru. Maka untuk menyikapinya dengan tidak melarang impor ayam Brasil masuk, pemerintah dinilai perlu melakukan beberapa kebijakan yang bersifat tarif dan non-tarif.

“Harusnya kejadian kekalahan ini harus dijadikan pelajaran bagi pemerintah, perlu ada langkah konkret agar menyisir peraturan level kementerian yang mumpuni soal ekspor-impor,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement