REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan, Benny Soetrisno menilai pembiayaan bagi sektor industri manufaktur masih rendah. Itu ditunjukkan dari kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terus menurun dan kalah saing dengan produk impor.
Di satu sisi, kondisi permesinan juga cukup tertinggal dibanding negara-negara lain. Itu karena industri kekurangan modal dan sulit untuk mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan. Bunga kredit yang diberikan juga besar, kisaran 10-12 persen.
"Sektor pembiayaan untuk industri TPT masih dangkal sekali. Berbeda dengan sektor lainnya seperti perumahan. Ini karena produk tekstil memang susah dijual," kata Benny di Jakarta, Rabu (11/9).
Benny mengakui, belum ada instrumen pembiayaan yang memudahkan sektor industri untuk meningkatkan kapasitas. Termasuk dalam memperbarui teknologi pabrikan. Industri tekstil di kawasan Jawa, kata Benny, juga makin tertekan akibat produk impor yang makin penyebar.
Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Arif Budimanta, mengatakan, pemerintah berkepentingan untuk mendorong kemajuan industri TPT. Sebab, kebutuhan akan tekstil merupakan satu dari tiga kebutuhan pokok selain pangan dan tempat tinggal.
Dari tahun ke tahun, kontribusi industri TPT terhadap sektor manufaktur secara nasional sekitar 1 persen. Itu menunjukkan ada stagnasi yang dialami para pelaku usaha tekstil dan produk tekstil. "Sektor ini masih bisa diandalkan dan masih ada kesempatan untuk berkembang. Maka, pasar dalam negeri harus dijaga," kata dia.
Pemerintah, kata Arif, harus berupaya agar efisiensi produksi industri TPT makin meningkat. Dengan begitu, produk lokal semaki berdaya saing untuk berhadapan langsung dengan produk impor di pasar bebas. Karenanya, dukungan dari berbagai sektor, termasuk pembiayaan diperlukan untuk menyelamatkan pertekstilan lokal.