Rabu 21 Aug 2019 23:20 WIB

Subsidi Harus Makin Tepat Sasaran

Kesalahan dalam kebijakan subsidi dapat berakibat fatal.

Rep: Muhammad Nursyamsyi / Red: Satria K Yudha
Realisasi Subsidi BBM. Petugas mengisi BBM subsidi solar di SPBU COCO Pertamina, Selasa (16/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Realisasi Subsidi BBM. Petugas mengisi BBM subsidi solar di SPBU COCO Pertamina, Selasa (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi tahun depan dalam RAPBN 2020 sebesar Rp 137,5 triliun atau lebih rendah dibandingkan APBN 2019 yang sebesar Rp 159,97 triliun. Nilai tersebut juga lebih rendah daripada proyeksi realisasi subsidi energi tahun ini, yakni Rp 142,6 triliun.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies ( IRESS) Marwan Batubara mengatakan pemberian subsidi merupakan persoalan yang selalu dialami pemerintah. "Kalau kita bicara subsidi maka yang harus dijadikan dasar utama adalah subsidi harus tepat sasaran dan tidak terlalu membebani APBN. Artinya harus ke objek yang pantas dan wajar disubsidi seperti yang terjadi untuk PLN," ujar Marwan saat dihubungi Republika, di Jakarta, Rabu (21/8).

Marwan menilai, subsidi untuk listrik memang relatif lebih mudah lantaran terdata nama penerima subsidi dan latar belakangnya. Berbeda dengan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM). Marwan mengatakan jumlah subsidi yang tidak tepat sasaran untuk subsidi listrik jauh lebih kecil dibanding subsidi pada BBM, di mana 60 persen sampai 70 persen yang menikmati subsidi BBM tidak tepat sasaran atau orang-orang yang secara finansial mampu. Sementara di sisi lain, keuangan negara terbatas.

"Saya kira dikurangi (subsidi) oke tapi sistemnya diperbaiki, jangan lagi tidak tepat sasaran seperti BBM," ucap Marwan. 

Marwan mengusulkan harga BBM disesuaikan dengan harga keekonomian. Ia menyebut, BBM penugasan seperti Premium dalam Perpres nomor 191 tahun 2014 tidak disebutkan barang subsidi. Namun, kata Marwan, pemerintah memaksa Pertamina menjual lebih rendah di bawah harga keekonomian dan beban subsidi untuk tahap awal ditanggung oleh Pertamina. 

"Nanti dihitung untuk dibayar kompensasi oleh pemerintah setelah ada audit BPK. Faktanya di (tahun) 2016-2017, sebelum Perpres 43 tahun 2018 terbit, maka beban selisih harga jadi tanggungan Pertamina dan itu cukup besar, lebih dari Rp 27 triliun," lanjut Marwan. 

Marwan menilai, Premium dan Pertalite merupakan BBM bersubsidi, namun subsidi ditanggung Pertamina. Sedangkan pengguna Premium dan Pertalite terbanyak justru golongan yang yang mampu. Marwan mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam kebijakan subsidi agar lebih tepat sasaran. 

"Dipotong (subsidi) silakan ,tapi sistemnya diperbaiki agar tepat sasaran, bisa pakai kartu atau mekanisme seperti apa, yang penting harus tepat," ucap Marwan. 

Marwan menyampaikan, kesalahan dalam kebijakan subsidi dapat berakibat fatal. Setiap tahun, kata Marwan, APBN Indonesia selalu mengalami defisit hingga Rp 300 triliun. Sementara itu, pemerintah terus memberikan subsidi bagi orang mampu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement