Rabu 14 Aug 2019 05:45 WIB

Industri Komponen Otomotif RI Terhambat Masalah Bahan Baku

Pemerintah terus mendorong industri otomotif untuk menggunakan komponen lokal

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pabrik perakitan mobil.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pabrik perakitan mobil. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor (GIAMM) mengaku ketersediaan bahan baku untuk memproduksi komponen otomotif menjadi masalah. Selain masalah ketersediaan bahan baku, harga kurang kompetitif.

Sekretaris Jenderal GIAMM, Hadi Surjadipradja, mengakui, saat ini 90 persen bahan baku dipenuhi dari pasokan impor. "Bahan baku yang umum seperti baja, plastik ada. Tapi, yang spesifik dibutuhkan itu tidak ada. Kalaupun ada, skala ekonomis tidak ketemu," kata Hadi saat ditemui di Kementerian Perindustrian, Selasa (13/8).

Baca Juga

Pihaknya mengakui, industri komponen otomotif juga sulit untuk bisa meningkatkan produktivitas. Sebab, semuanya tergantung kepada permintaan dari industri otomotif dalam negeri.

Pasar bebas berlaku sehingga ekspansi bisnis yang dilakukan industri komponen bergantung penuh pada permintaan domestik.

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong industri otomotif untuk menggunakan komponen lokal demi meningkatkan kandungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dorongan itu juga berlaku untuk produksi mobil listrik maupun produksi Mobil Esemka yang menjadi mobil buatan asli Indonesia.

Hanya saja, kata Hadi, tidak ada mandat atau kewajiban dari pemerintah kepada industri otomotif untuk membeli komponen dari dalam negeri. "Tidak bisa mandatory. Susah. Kita sih maunya semua dari dalam negeri, tapi kalau tidak bisa, yang mau beli siapa?" ujar dia.

Sementara itu, neraca perdagangan ekspor-impor barang otomotif di Indonesia mengalami defisit. Hadi memaparkan, pada tahun 2018, impor komponen otomotif mencapai 7,4 miliar dolar AS sedangkan ekspor hanya 7,2 miliar dolar AS sehingga terjadi defisit sekitar 200 juta dolar AS.

Kendati demikian, ia mengakui dukungan pemerintah kepada industri komponen lokal sejauh ini cukup baik. Para produsen tetap membutuhkan dukungan kebijakan yang menguntungkan agar industri komponen tetap bertahan.

Sebab, Hadi mengatakan, industri komponen saat ini tengah berada dalam situasi sulit. Bahkan beberapa perusahaan menyatakan tutup karena tidak mampu bersaing.

Selain karena persoalan bahan baku, biaya tenaga kerja dalam 10 tahun terakhir telah naik tiga kali. Sementara, produktivitas produksi hanya naik satu kali.

"Sudah bahan baku sedikit, kenaikan upah minimum lebih tinggi dari kenaikan produktivitas. Artinya industri ini akan mati pelan-pelan," ujar dia.

Di era pengembangan kendaraan bertenaga listrik yang akan segera dimulai, industri komponen otomotif juga dihadapkan pada tantangan besar. Hadi menuturkan, akan banyak komponen-komponen yang dibutuhkan menjadi berubah.

Disaat industri lokal tidak bisa memenuhi komponen sesuai kebutuhan, barang impor akan menjadi pilihan. "Kita dukung mobil listrik. Tapi, kalau nanti kita bikin komponennya, siapa yang mau beli? Karena itu semua tergantung sama pebisnis," ujar dia.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, menuturkan, saat ini ada sekitar 1.500 perusahaan komponen otomotif di Indonesia. Langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk optimalisasi penggunaan komponen impor dengan menetapkan persentasi TKDN agar industri terpacu memakai barang lokal.

Namun, ia mengakui produsen komponen otomotif pun menghadapi masalah bahan baku yang harus dipenuhi dari impor. Sebagai contoh, bahan dasar untuk membuat baja yang menjadi bahan baku komponen otomotif pun masih diimpor.

Oleh sebab itu, Kemenperin mendorong kerja sama antara perusahaan BUMN dan swasta untuk bisa meningkatkan produksi bahan baku untuk komponen industri di dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement