Selasa 06 Aug 2019 13:29 WIB

China Balas Kebijakan AS, Rupiah Berpotensi Terus Tertekan

Aksi balas China mendorong investor beralih mencari aset yang paling minim risiko

Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah berpotensi melanjutkan pelemahan pada Selasa (6/8) setelah China disinyalir sengaja melemahkan mata uang yuan. Pelemahan yuan ini sebagai tindakan balasan perang dagang melawan Amerika Serikat yang berencana menaikkan tarif impor kepada negeri Tirai Bambu.

Ekonom Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan tindakan devaluasi yuan oleh pemerintah China dipandang investor global sebagai tindakan retalisasi atau pembalasan terhadap AS yang pekan lalu menyatakan akan menaikkan tarif impor pada 1 September 2019.

Baca Juga

Dari kacamata pelaku pasar, tindakan balasan ini adalah alarm peningkatan risiko investasi sehingga pelaku pasar akan mencari aset-aset yang paling aman untuk menanamkan modalnya. Maka dari itu, sentimen pasar yang menguat adalah risk-averse atau penghindaran risiko.

Alhasil, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia tertekan karena investor beralih untuk mencari aset yang paling minim risiko.

"Berdasarkan data historis, pelemahan nilai tukar yuan  akan ikut menyeret pelemahan nilai mata uang lainnya, terutama mata uang negara berkembang. Hal ini disebabkan bahwa usaha Tiongkok melemahkan mata uangnya sendiri dipandang sebagai retaliasi perang dagang," ujar Josua saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/8).

Pada Selasa ini, kurs rupiah di pasar spot melunglai. Kurs mata uang Garuda dibuka melemah 94 poin atau 0,66 persen menjadi Rp14.349 per dolar AS dibanding posisi penutupan pada Senin (5/8) di Rp14.255 per dolar AS

Sementara itu, di kurs tengah Bank Indonesia atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah ditetapkan di Rp 14.344 per dolar AS, atau melemah 0,7 persen dibanding Senin (5/8) yang sebesar Rp 14.231 per dolar AS.

Josua mengingatkan melemahnya kurs rupiah akan semakin memberatkan kinerja perekonomian Indonesia. Pasalnya, pelaku industri di dalam negeri masih bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk berporduksi.

"Hal ini menjadi masalah mengingat tidak seluruh hasil produksi industri demestik berorientasi ekspor atau dengan perkataan lain diperuntukkan untuk konsumsi domestik," ujar dia.

Adapun serangan balasan dari China terindikasi dari pergerakkan yuan pada Senin (5/8) kemarin. Yuan China (CNY) dibuka di level 6,9 per dolar AS pada Senin yang merupakan terendah sejak Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan Senin (5/8), kurs yuan ditutup pada level 7,03 yuan per dolar AS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement