REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menangkap sinyal keinginan para pengusaha difasilitasi pengampunan pajak (tax amnesty) bagian kedua. Tapi, wacana itu disarankan tidak dilakukan agar tidak mencoreng kredibilitas pemerintah sendiri.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, Kadin menerima banyak aspirasi akan penyesalan banyak pengusaha yang tidak mengikuti pengampunan pajak pertama. Atas dasar itu, keinginan pengusaha Tanah Air cukup besar akan adanya pengampunan pajak kedua.
Jangka waktunya juga tak perlu se lama sembilan bulan seperti pengampunan pertama. "Yang penting dampaknya. Saya yakin akan lumayan yang ikut kalau ada program kedua," kata Rosan saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8).
Rosan menyadari, peserta pengampunan pajak pertama yang tidak lebih dari satu juta orang tergolong minim dibandingkan jumlah pengusaha di Indonesia. Meskipun hasil pendapatan pajak yang dikantongi pemerintah sudah cukup besar dari program itu.
Pengusaha sudah memahami manfaat pengampunan pajak sehingga akan sangat rugi bila melewatkannya. "Dulu yang pertama orang masih bertanya-tanya, nah sekarang mereka sudah tahu manfaatnya," ujar dia.
Wacana pengampunan pajak kedua diangkat Kadin Indonesia karena negara-negara di dunia banyak yang melakukannya. Menurut Kadin, akan banyak manfaat bagi pemerintah bila merestui aspirasi pengusaha. Meskipun, hal ini tetap perlu dikaji.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut pengampunan pajak kedua dimungkinkan. Pada pengampunan pajak pertama 2016 banyak para wajib pajak, termasuk kalangan pebisnis terkejut. Hal itu lantas membuat sebagian pengusaha ragu untuk diampuni kewajiban pajaknya. Jumlah peserta yang mengikuti program itu pun tidak lebih dari satu juta wajib pajak.
Presiden Joko Widodo, kata Sri, juga menyampaikan kepada dirinya terkait banyaknya aspirasi program pengampunan pajak kedua. Melihat evaluasi itu, potensi untuk dilakukannya pengampunan pajak kedua terbuka. Tapi, ada pro dan kontra.
Bagi pemerintah, pengampunan pajak kedua menambah penerimaan. Di sisi lain, jika pengampunan pajak kembali dilakukan, bukan tidak mungkin pengusaha yang belum mengikuti program ini kembali mengurungkan niat. Sebab, akan ada pemahaman program serupa akan dilakukan berulang dan pengemplang pajak akan terus bersembunyi.
"Kalau ada amnesti lagi setelah amnesti, orang akan mengatakan kapan sebenarnya amnesti yang tidak akan diulangi lagi?" ujar Sri di lokasi yang sama.
Ia melanjutkan, program pertukaran informasi data perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Informations (AEoI) juga telah diberlakukan sejak tahun lalu. Sebanyak 90 yurisdiksi yang mengikuti AEoI saling memberikan data transaksi yang dilakukan di luar negeri secara reguler. Menteri keuangan antarnegara juga kompak bekerja sama sehingga sangat mudah melacak pengemplang pajak asal Indonesia yang menyimpan uangnya di luar negeri.
Ia mengatakan, telah ada 47 juta transaksi di dunia yang terekam dan nilainya mencapai triliunan euro. Pengusaha Indonesia yang kedapatan mengemplang pajak bakal dikenai sanksi tanpa ampun.
"Saya akan menimbang semua, termasuk suara-suara yang kemarin menyesal tidak ikut tax amnesty. Kita akan lihat karena situasinya sekarang data sudah komplet," ungkap Sri.
Lembaga riset Center for Taxation Analysis (Cita) menolak adanya wacana pengampunan pajak kedua. Direktur Eksekutif Cita Yustinus Prastowo menegaskan, kebijakan itu bakal berdampak negatif pada kredibilitas sistem perpajakan nasional.
"Kami tidak setuju dan menolak tegas wacana tax amnesty kedua oleh siapa pun. Kewibawaan dan otoritas negara harus melampaui urusan-urusan partikular dan kepentingan sesaat yang subjektif dan oportunistis," kata Yustinus, kemarin.
Pengampunan pajak kedua akan memberi citra buruk pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok. Hal itu akan mencederai rasa keadilan mereka yang telah secara sadar mengikuti pengampunan pajak pertama. "Ini akan menciptakan efek psikologis bahwa 'saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty'," kata Yustinus.
Pengampunan pajak pada 2016 telah menunjukkan kebaikan pemerinta dan semestinya dimanfaatkan optimal oleh seluruh wajib pajak. Kini, saatnya Direktorat Jenderal Pajak diperkuat untuk melakukan reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, objektif, dan adil. (dedy darmawan nasution, ed: fuji pratiwi)