Sabtu 03 Aug 2019 00:20 WIB

Cita Tolak Wacana Tax Amnesty Jilid II

Wacana tax amnesty menjadi sinyal buruk bahwa pemerintah bisa diatur.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3).
Foto: Antara/Atika Fauziyyah
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center for Taxation Analysis (Cita) menolak adanya wacana program pengampunan pajak atau tax amnesty kedua. Direktur Eksekutif Cita, Yustinus Prastowo menegaskan, kebijakan itu bakal berdampak negatif pada kredibilitas sistem perpajakan nasional.

"Kami tidak setuju dan menolak tegas wacana tax amnesty kedua oleh siapa pun. Kewibawaan dan otoritas negara harus melampaui urusan-urusan partikular dan kepentingan sesaat yang subjektif dan oportunistik," kata Yustinus di Jakarta, Jumat (2/8).

Baca Juga

Ia menegaskan, pemberian tax amnesty dalam jangka pendek bakal menjadi sinyal buruk bahwa pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok kepentingan. Hal itu akan menciderai rasa keadilan bagi mereka yang telah secara sadar mengikuti tax amnesty pertama.

"Ini akan menciptakan efek psikologis bahwa 'saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty' atau disebut permanen tax amnesty," katanya menambahkan.

Menurut Yustinus, program tax amnesty yang diberlakukan pada tahun 2016 telah menunjukkan kebaikan pemerintah untuk menunda penegakkan hukum. Tidak ada kewajiban reptriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya tiga tahun, dan mendapat pengampunan denda pajak tahun 2015 dan sebelumnya merupakan kebijakan yang baik hati.

Karena itu, kata Yustinus, tax amnesty pertama semestinya dimanfaatkan optimal oleh seluruh wajib pajak. "Pasca-amnesty juga sudah diikuti dengan keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Ini sudah sejalan dengan peta jalan penegakan hukum.

"Kini saatnya Direktorat Jenderal Pajak diperkuat untuk melakukan reformasi reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, objektif, dan adil," kata Yustinus.

Saat ini, lanjut Yustinus, telah dapat dibuat pemetaan dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko tinggi, sedang, dan rendah. Wajib pajak yang selama ini patuh dan mengikuti tax amnesty dengan jujur masuk kategori risiko rendah.

Di luar itu, masuk kategori risiko sedang dan tinggi sesuai kondisi kepatuhannya. Merekalah, Yustinus, yang menjadi sasaran pembinaan dan penegakan hukum. Dengan kata lain, peta jalan setelah tax amnesty adalah keterbukaan informasi dan penegakan hukum.

Pemerintah harus menerbitkan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan berkelanjutan. Yustinus berpendapat, itu lebih penting ketimbang harus berkompromi dengan kelompok dan pihak-pihak yang sehak awal berniat untuk tidak patuh.

"Pemerintah sebaiknya tegas dan fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan dan konsisten melakukan pengawasan," kata dia.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement