REPUBLIKA.CO.ID, BIMA -- Awalnya Nadya tidak percaya diri menghadapi ibu-ibu rumah tangga yang memiliki usaha rumahan dengan beragam latar yang menjadi mitranya. Maklum, dia hanyalah anak remaja lulusan sekolah menengah atas.
Namun, perlahan Community Officer (CO) BTPN Syariah ini bisa beradaptasi dengan pekerjaannya itu. Bahkan, kini ia sudah lancar berkomunikasi dengan para nasabah mikro dari kalangan keluarga prasejahtera produktif itu. "Saya lulus sekolah langsung cari kerja," ujarnya ketika dijumpai di Bima, Nusa Tenggara Barat, Rabu (31/7).
Tak disangka, profesi yang dijalaninya belum lama ini sekarang justru menjadi andalan mata pencahariannya. Tak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga keluarganya. Berkat profesinya itu, anak pertama dari tiga bersaudara ini bisa membantu renovasi rumah orangtuanya dan membantu biaya sekolah adik-adinya. "Saya jadi tulang punggung keluarga," katanya.
Nadya berharap bisa terus meniti karier di BTPN Syariah. Tak sekadar mengandalkan ijazah SMK-nya, ia pun ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah guna memperdalam studi akuntansi. "Mudah-mudahan saya bisa mendapatkan program beasiswa kuliah dari BTPN Syariah," ucapnya polos.
BTPN Syariah memang membuka peluang lulusan sekolah menengah atas menjadi pegawainya sebagai Community Officer (CO) Bank. Bahkan sebagian besar tenaga CO ini memang berasal dari lulusan SMA. Mereka dilatih dengan tepat untuk berhubungan langsung dengan nasabah.
BTPN Syariah sampai saat ini menjadi satu-satunya bank di Indonesia yang memfokuskan diri melayani keluarga prasejahtera produktif yang biasa disebut unbankable. Dengan hanya memiliki 25 cabang di seluruh Indonesia dan 41 Kantor Fungsional Operasional, BTPN Syariah memiliki hampir 12 ribu karyawan yang melayani langsung ke sentra-sentra nasabah di hampir 70 persen total kecamatan di Tanah Air.
Lain lagi dengan kisah Fatimah. Teman seprofesi Nadya di Bima ini menceritakan bagaimana lika-liku pendampingan nasabah sebagai CO. Ia harus pandai mendekati dan memberikan wawasan untuk mengembangkan usaha kepada ibu-ibu yang ingin dijadikan nasabah.
Para CO juga harus bisa meyakini suami calon nasabah. "Karena nasabah harus mendapatkan izin dari suaminya," ujar Fatimah mengisahkan pengalamannya.
Sasaran pembiayaan mikro BTPN Syariah ini memang kalangan ibu-ibu yang sudah memiliki usaha. Melalui pembiayaan ini, nasabah diharapkan bisa mengembangkan usahanya. Karena itu pula salah satu syarat menjadi tenaga CO ini adalah perempuan agar lebih mudah melakukan pendekatan kepada nasabah.
Dengan pendekatan yang jitu, calon nasabah pun bisa dijaring. Saat ini, Fatimah memegang 54 sentra nasabah. Setiap sentra terdiri dari 13 sampai 15 orang. Total ada sekitar 315 orang nasabah yang dipegang Fatimah. "Biasanya tahun pertama agak sulit, tapi setelah melihat hasilnya, suami biasanya mendukung bahkan ikut terlibat aktif mengembangkan usaha istrinya," ujarnya.
Nuryatin (kanan), salah satu nasabah keluarga prasejahtera produktif BTPN Syariah di Bima, Nusa Tenggara Barat. Nuryatin menggeluti usaha produksi kue khas tradisional Bima.
Bussines Coach Area Matabali 2 BTPN Syariah yang membawahi Pulau Sumbawa, Nurhaidah, mengatakan menjadi CO memang tidak mudah. Untuk itu, manajemen membuat saluran komunikasi bagi para CO untuk saling berbagi cerita mengenai pengalaman yang mereka dapatkan di lapangan.
"Setiap hari mereka saling menceritakan persoalan yang ditemui di lapangan. Jadi ilmu menghadapi nasabah yang mereka dapatkan terus bertambah," kata perempuan yang akrab disapa Doank ini.
Sejauh ini, Nuraidah mengatakan respons masyarakat terhadap layanan pembiayaan BTPN Syariah ini cukup baik. Bahkan sekarang mengembangkan layanan ini relatif lebih mudah dibandingkan beberapa tahun lalu, karena produk sudah dikenal dan banyak contoh sukses dari nasabahnya.
Di Pulau Sumbawa, produk BTPN Syariah ini sudah menjangkau 60 persen wilayah. Ia menargetkan seluruh kecamatan di Pulau Sumbawa bisa terjangkau layanan. Bahkan ia mendapatkan mandat untuk mengembangkan produk ini ke Nusa Tenggara Timur.