REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) mengakui produksi cabai saat ini sedang minim sehingga mengerek lonjakan harga di pasar. Di sisi lain, mayoritas petani belum seluruhnya mau memproduksi cabai kering mengingat permintaan konsumsi itu masih sangat minim. Diketahui, wacana mengkonsumsi cabai kering sedang diupayakan pemerintah.
Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, pembinaan kepada petani untuk memproduksi cabai kering sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja, secara realita produk cabai kering tersebut belum sepenuhnya bisa diserap pasar secara maksimal.
“Pembinaan sudah, hanya kan memang pasarnya minim sekali,” kata Prihasto saat dihubungi Republika, Senin (29/7).
Terlebih, menurut dia, mayoritas masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih senang mengkonsumsi cabai segar dibandingkan cabai kering. Untuk itu menurut dia, salah satu upaya untuk mencegah gejolak harga cabai di saat produksi minim, konsumen perlu diedukasi untuk mengkonsumsi cabai kering.
“Artinya kan banyak pihak yang harus dilibatkan, karena nggak mudah mengubah selera lidah konsumen,” kata dia.
Selain alternatif konsumsi ke cabai kering, pihaknya juga menilai pemerintah tengah menyiapkan early warning system dengan menerapkan penanaman cabai. Penanaman itu nantinya didesain dengan prediksi akurat untuk mengetahui secara menyeluruh waktu-waktu tertentu yang baik untuk melaksanakan tanam dan panen.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengakui, konsumsi cabai kering di Indonesia belum banyak peminat. Meski di beberapa pasar di daerah terdapat permintaan terhadap cabai kering.
“Ada di NTB (Nusa Tenggara Barat), Bali, jadi tidak semua pasar punya cabai kering. Artinya ya, konsumsinya masih rendah,” kata dia.
Tjahya juga menegaskan, harga cabai saat ini masih relatif tinggi. Berdasarkan catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga cabai merah keriting rerata nasional berada di level Rp 59.800 per kilogram (kg), cabai rawit hijau Rp 61.450 per kg, dan cabai rawit merah Rp 76.050 per kg.
Mengacu statistik tersebut, harga cabai merah besar di mayoritas Pulau Sumatera mengalami tren harga yang tinggi. Di Sumatera Selatan, rerata harga mencapai Rp 73.250 per kg, di Riau Rp 59.200 per kg, dan Lampung Rp 62.500. Di Kalimantan, harga cabai tertinggi terpantau berada di Provinsi Kalimantan Selatan dengan rerata harga Rp 63.150 per kg.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (Appsi) Ngadiran mengatakan, pemerintah harusnya justru memikirkan bagaimana pembangunan gudang penyimpanan cabai terelasasi. Alasannya, sejak 10 tahun lalu diwacanakan, hingga hari ini pembangunan gudang penyimpanan cabai dinilai hanya sebatas wacana.
“Wah, dari dulu ngomongnya bangun gudang penyimpanan. Realisasinya tapi nggak ada,” kata Ngadiran.
Menurut Ngadiran, pemerintah cenderung abai dengan nasib pedagang maupun petani di kala musim-musim produksi minim maupun banyak. Dia mengatakan, pemerintah enggan membangun gudang penyimpanan sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal jika hal itu diseriusi, ke depannya stabilitas harga dapat terjaga.
Terkait dengan konsumsi cabai kering, menurut dia hal itu belum cukup relevan dengan selera pasar. Meski dia mengakui di sejumlah pasar di daerah terdapat tren konsumsi cabai yang cukup baik.
Hanya saja yang terpenting saat ini menurut dia, pemerintah perlu memacu produksi cabai secara baik agar gejolak harga di pasar dapat diredam.
Berdasarkan catatan Kementan, tren konsumsi cabai tidak diklasifikasikan ke cabai kering dan cabai segar. Data statistik yang ada terkait jumlah konsumsi cabai hanya mengacu pada jenis cabai tersebut.
Mengacu catatan itu, tren konsumsi cabai merah misalnya terus meningkat dari tahun ke tahun yakni 2,09 per kilogram (kg) per kapita pada 2017, menjadi 3,00 kg per kapita di 2018. Pada 2019, tingkat konsumsi cabai diprediksi mencapai 3,09 kg per kapita.