REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah melakukan aksi retaliasi atau balasan kepada Cina atas penerapan bea masuk produk baja stainless Indonesia diragukan pengusaha. Sebab, saat ini sejumlah hambatan, seperti mahalnya harga baja lokal, masih kerap ditemui industri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengakui, harga baja Cina jauh lebih terjangkau dibandingkan baja lokal. Hal itu dikhawatirkan bakal menjadi hambatan bagi Indonesia untuk melakukan retaliasi terhadap Cina.
"Cina itu kan harga (baja)-nya jauh di bawah (baja) Indonesia," kata Shinta kepada wartawan, di Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Kamis (25/7).
Diketahui, rencana aksi retaliasi dilontarkan pemerintah seusai Pemerintah Cina akan menerapkan pajak antidumping terhadap produk baja stainlessasal Indonesia. Tak hanya Indonesia, tarif pajak antidumping juga diterapkan Cina kepada negara lain, seperti Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan.
Tarif antidumping itu akan dike nakan terhadap produk billet stain less dan pelat baja hot-rolled. Be sar annya mulai 103,1 persen dan dimulai pada 23 Juli 2019. Sebagai catatan, kedua produk tadi lazim di gunakan sebagai bahan baku pem buatan kapal, kontainer, rel listrik, dan berbagai produk industri lainnya.
Berdasarkan catatan Asosiasi Baja Cina, produksi Cina pada produk baja stainlessdi 2018 berjumlah 26,71 juta ton. Meski begitu, Cina masih membutuhkan impor sebanyak 1,85 juta ton baja stainless pada 2018. Angka impor itu melonjak dari tahun sebelumnya sebesar 53,7 persen.
Menurut Shinta, pemerintah harusnya mengkhawatirkan apabila penerapan bea masuk antidumping terus berlanjut. Dia juga menyarankan pemerintah segera melakukan antisipasi dini sebab penerapan bea masuk antidumping itu akan berpengaruh terhadap pereko nomian Indonesia. "(Antisipasinya) ya harus dipantau sama pemerintah ini perkembangannya seperti apa sejak dini,"
kata dia.
Meski sedang bersitegang terkait perdagangan baja, Indonesia saat ini sedang berharap dapat meningkatkan ekspor ke negeri Tirai Bambu. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membahas hambatan perdagangan yang dihadapi Indonesia dalam kunjungannya ke Cina pekan lalu. Bersama Minister of General Administration of Custom China (GACC) Ni Yuefeng, kedua pihak bersepakat membentuk kelompok kerja bersama.
"Dengan pendekatan yang kita lakukan dan persetujuan dari GACC bisa segera kita dapatkan, maka akan meningkatkan ekspor sekitar 1 miliar dolar AS, terlebih lagi kalau seafood bisa diizinkan," kata Enggar.
Pemerintah mengharapkan agar Cina memberikan kemudahan atas ekspor sarang burung walet, buah- buahan tropis, seperti nanas, buah naga, alpukat, dan durian, serta produk perikanan. Dijelaskan, salah satu kendala yang menghambat laju ekspor berbagai komoditas tersebut adalah lamanya proses verifikasi yang dilakukan oleh GACC.
Enggar mengaku, Menteri Ni Yuefeng merespons dengan baik dan akan menindaklanjuti permasalahan yang disampaikan Indonesia. Tak hanya sarang burung walet, berbagai buah-buahan Indonesia juga masih mengalami kesulitan memasuki pasar Cina.
Hingga kini, tercatat hanya lima jenis buah-buahan Indonesia yang bisa diekspor ke Cina. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 20 jenis, ujarnya. (imas damayanti ed:ahmad fikri noor)