Rabu 24 Jul 2019 09:37 WIB

Proyek Bermasalah Krakatau Steel Penyebab Komisaris Mundur

Proyek bermasalah di Krakatau Steel melibatkan kontraktor asal China

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memotong lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2).
Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Pekerja memotong lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (Persero), Roy Maningkas membeberkan kepada publik proyek bermasalah yang kini tengah digarap perseroan. Proyek tersebut, dikerjakan bersama oleh kontraktor asal Cina, Capital Engineering and Research and Research Incorporation Limited (MCC CERI).

Kepada awak media, Roy mengatakan bahwa saat ini Krakatau Steel tengah membangun satu fasilitas pengolahan baja tanur tinggi atau blast furnace yang memproduksi hot metal yang dijadikan slab sebagai bahan baku aneka produk. Proyek tersebut telah dimulai sejak tahun 2011 namun waktu penyelesaian terlambat hingga 72 bulan.

Baca Juga

Selain itu, biaya investasi yang dikeluarkan perseroan juga membengkak dari rencana semula Rp 7 triliun menjadi Rp 10 triliun. "Ini over budget sudah terlampaui tapi penyelesaian terlambat 72 bulan. Ini tidak main-main," kata Roy dalam Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (23/7).

Roy melanjutkan, hal mengejutkan lainnya yakni terkait uji coba blast furnace yang terkesan dipaksakan. Direksi Krakatau Steel memutuskan untuk melakukan uji coba blast furnace selama dua bulan, lebih cepat dari perjanjian dalam kontrak bersama MCC CERI selama enam bulan.

Ia menjelaskan, waktu uji coba hanya dua bulan lantara bahan baku yang dimiliki KS untuk pengolahan tidak mencukupi. Secara umum, kata dia, fasilitas pengolahan minimal diuji coba selama enam bulan agar diketahui titik kelemahan secara komprehensif. Uji coba dalam waktu singkat juga dapat merusak fasilitas karena tingkat suhu yang digunakan mencapai 2.700 derajat celcius.

Uji coba yang tidak sesuai standar waktunya itu, lanjut Roy, juga berbahaya merugikan Krakatau Steel. Sebab, kata Roy, setelah uji coba otomatis bakal dilakukan serah terima dan kontraktor asal Cina tersebut bisa melepaskan tanggung jawab jika di kemudian hari terdapat kerusakan pada fasilitas tersebut.

Saat ini, kata Roy, uji coba blast furnace telah berlangsung selama dua pekan. Namun, belum menghasilkan hot metal sementara polusi dilepaskan secara bebas ke udara. "Ini seperti dipaksakan. Nanti kontraktor lepas tangan setelah uji coba bagaimana? Lalu siapa yang akan menjamin? Ini menimbulkan spekulasi macam-macam," ujarnya.

Roy mengatakan, pihaknya telah menyampaikan penolakan uji coba kepada Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim. Namun, kata Roy, Direktur Utama justru mengaku terjepit dan arahan Kementerian BUMN untuk melanjutkan uji coba proyek yang dinilai tidak layak itu.

Di satu sisi, alasan yang disampaikan direksi agar proyek segera diuji coba agar tak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, Kraktau Steel mengaku khawatir di denda ratusan juta dolar oleh pihak kontraktor karena tidak melakukan uji coba. Padahal, kata Roy, kemunduran penyelesaian blast furnace salah satunya atas permintaan kontraktor.

Roy pun mengaku, telah mengirimkan dissenting opinion atau kritik secara tertulis atas proyek tersebut kepada Kementerian BUMN agar pemerintah mengeluarkan kebijakan. Namun, upaya yang ia lakukan justru mendapat respons negatif dari Kementerian BUMN.

"Jadi saya menganggap terlalu banyak kepentingan dalam proyek ini," ujarnya.

Sementara itu, dari sisi bisnis blast furnace, Roy harga pokok produksi (HPP) slab yang dihasilkan lebih mahal 82 dolar AS per ton. Menurut dia, jika dalam setahun produksi sebanyak 1,1 juta ton, maka Krakatau Steel berpotensi merugi Rp 1,2 triliun akibat harga yang lebih mahal itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement