Selasa 09 Jul 2019 08:28 WIB

Pajak Perusahaan Digital Masih Jadi Perdebatan Global

OECD diminta negara G20 melakukan kajian skema pemungutan pajak perusahaan digital

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menunggu hasil studi The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi industri digital. OECD diminta negara-negara G20 untuk melakukan kajian skema pemungutan tersebut.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan hasil studi akan menjadi acuan pemerintah dalam membuat skema pemajakan terhadap industri digital.

Baca Juga

“Hasilnya dalam waktu dekat ini. Hampir di setiap rapat G20 dalam beberapa tahun terakhir, sampai dengan G20 menugaskan OECD membuat studi yang akan dilaporkan segera seperti apa seharusnya konsep pemajakan ini di tingkat internasional, nanti harapan kita hasil studi ini jadi acuan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (9/7).

Menurutnya penerapan pajak untuk perusahaan digital masih menjadi perdebatan serta pembicaraan tingkat internasional. Sebab, model bisnis perusahaan digital dapat beroperasi lintas.

Dia mengilustrasikan platform musik digital Spotify, menjual jasa kepada seluruh masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Sedangkan kantor operasional Spotify berada di Swedia.

“Sekarang bayangkan kalau mau memajaki PPN atas lagu yang ada di handphone, yang harusnya memungut siapa? Ada lagu di spotify, bayar per bulan, harusnya dalam 60 ribu, 10 persen PPN tapi sekarang 60 ribu yang nermina perusahaan yang di sana, yang dibayar lewat operator, jadi sekarang wajib pungutnya siapa? nah ini sekarang yang sedang kita tangani," ungkapnya.

Perdebatan lainnya terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) yakni perusahaan digital yang bersangkutan dianggap telah mengambil keuntungan di negara-negara lain di luar yurisdiksi perpajakannya. Padahal, mereka telah melakukan kegiatan operasional di Indonesia, atau di negara lain di luar kantor pusatnya.

"PPh itu kan diambil dari keuntungan, tapi keuntungan itu bukan keuntungan perusahan Indonesia, tapi dia jualannya di Indonesia. Nah itu hak pemajakannya bagaimana membaginya?," ucapnya.

Dia menjelaskan pada dasarnya pemerintah berencana menggunakan skema pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 10 persen terhadap industri digital. Namun Indonesia belum memiliki landasan hukum untuk menerapkan itu terhadap perusahaan yang berbasis di luar negeri atau yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pajak yang dikenakan terhadap barang pertambahan nilai barang dan jasa, dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak dengan mewajibkan mereka untuk memungut 10 persen pajak terhadap barang atau jasanya yang di beli konsumen.

“Nah, kalau beli barang itu kan ada PPN (Pajak Penghasilan) nya 10 persen, nah sekarang PPNnya punya siapa? Punya yang produsen di luar atau di Indonesia,” ucapnya.

Karenanya, kata dia, hal yang memungkinkan untuk menggunakan skema tersebut adalah dengan meninjau ulang Undang-Undang tersebut. Diharapkan perusahaan digital yang berada diluar negeru atau yang tidak memiliki BUT di Indonesia bisa dikenakan wajib pungut.

"Itu belum bisa kita tentukan dia di luar negeri, jadi kalau nanti kita melakukan review peraturan perundang-undangan itu nanti yang akan kita tangani bisa dinyatakan perusahan luar negeru sebagau wajib pungut sehingga dia memungut dan menyetorkan ke kas negara. Ini sudah ada di lakukan di beberapa negara, yang saya tahu persis Australia," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement