Selasa 25 Feb 2020 06:31 WIB

Menkeu: Masih Banyak Pandangan tentang Pajak Digital di G20

Pemajakan bisa dilakukan tanpa jadikan badan usaha utama sebagai tolok ukur

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut masih banyak perbedaan pandangan tentang pajak digital di G20.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut masih banyak perbedaan pandangan tentang pajak digital di G20.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsensus global tentang pajak transaksi digital masih terus bergulir. Menteri Keuangan Sri Mulyani menggambarkan, pandangan yang beragam disampaikan dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara G20 di Riyadh, akhir pekan kemarin. Tidak terkecuali dari Amerika Serikat (AS) yang menjadi pusat keberadaan perusahaan teknologi digital maupun negara lain sebagai konsumen transaksi digital. 

Sri berharap, sebelum akhir 2020, konsensus global sudah mendapat kesepakatan bersama mengenai prinsip-prinsip pemajakan transaksi digital. "Sehingga ini menciptakan kepastian, keadilan dan juga transparansi perpajakan," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (24/2). 

Sri menjelaskan, dalam pertemuan G20, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organizations for Economic Cooperation and Development/ OECD) sudah menyampaikan perkembangan prinsip-prinsip pemajakan yang berpotensi dilakukan. Salah satunya, tidak lagi menjadikan badan usaha utama (BUT) sebagai tolak ukur untuk menarik pajak.

Artinya, Sri mengatakan, suatu negara dapat menarik pajak terhadap perusahaan digital yang mendapatkan revenue di negara mereka, meskipun keberadaan fisiknya tidak ada. Pendekatan ini juga dikenal dengan significant economic presence

Sri menuturkan, kebijakan tersebut diambil dengan dasar perusahaan digital tidak lagi harus bertempat tinggal fisik di suatu negara. "Ini dicarikan berbagai upayanya," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut. 

Meski sudah mengarah pada konsep significant economic presence, Sri mengatakan, negara-negara G20 masih harus melakukan membuat kebijakan lebih detail. Khususnya mengenai pembagian profit antara negara asal dengan negara penerima. 

Setidaknya ada tiga proposal yang disampaikan dalam pertemuan G20 kemarin. "Rencananya, nanti Juli dalam pertemuan G20, akan dilaporkan kesepakatan yang diharapkan bisa terjadi," kata Sri. 

Sementara itu, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) John Hutagaol menuturkan, pertemuan G20 pada prinsipnya menerima hasil kemajuan pembahasan yang telah dicapai dalam Inclusive Framework terakhir pada akhir Januari di OECD Paris. Selanjutnya, John menambahkan, akan dilakukan pembahasan lebih teknis dan operasional.

"Pembahasan akan mengikutsertakan para stakeholders seperti akademisi maupun dunia usaha," ucapnya ketika dihubungi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement