Senin 08 Jul 2019 17:30 WIB

Pemerintah Punya Banyak PR Atasi Defisit Neraca Dagang

Neraca perdagangan nasional sepanjang Januari-Mei 2019 defisit 2,14 miliar dolar AS

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Neraca Perdagangan Defisit. Truk membawa peti kemas dari Pelabuhan New Priok Kalibaru, Jakarta, Ahad (18/2).
Foto: Republika/ Wihdan
Neraca Perdagangan Defisit. Truk membawa peti kemas dari Pelabuhan New Priok Kalibaru, Jakarta, Ahad (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pemerintah masih menyisakan banyak pekerjaan rumah (PR) untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Isu ini menjadi bahasan utama yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin (8/7).

Presiden mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan neraca perdagangan nasional sepanjang Januari-Mei 2019 mengalami defisit 2,14 miliar dolar AS.

Baca Juga

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, lemahnya kinerja ekspor selama semester I 2019 memang berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ia berharap kondisi membaik di semester II 2019, terutama dengan memacu kinerja ekspor dan menjaga substitusi produk impor.

"Menangani masalah neraca perdagangan ini kerja bersama dari seluruh kabinet dan Presiden tadi menyampaikan bahwa seluruh tim harus melihat secara detail komoditasnya, negara tujuannya, supaya kita juga bisa formulasikan kebijakan yang lebih tepat," ujar Sri Mulyani usai menghadiri sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (8/7).

Menkeu lantas menjelaskan mengenai impor migas yang cukup tinggi pada semester I 2019, yang diyakini menyumbang defisit neraca dagang. Presiden bahkan menegur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait tingginya impor migas ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca dagang migas mencapai 3,74 miliar dolar AS.

Sri Mulyani beralasan, realisasi produksi migas nasional sepanjang semester I 2019 di bawah asumsi awal yang tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jadi dari sisi kuantitatif turun. Tahun ini juga kebetulan kurs maupun harga minyak lebih rendah, jadi penerimaan kita dari sisi migas mengalami penurunan, namun kebutuhan di dalam negeri itu meningkat," jelas Sri.

Artinya, kata Sri, harus dipikirkan bagaimana menggenjot produksi migas agar kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi tanpa impor.

Presiden Jokowi juga meminta menteri-menterinya menerbitkan insentif yang bisa memacu lebih banyak ekspor dan menarik investasi. Menkeu memberi contoh, insentif bisa diberikan dalam bentuk kemudahan mengurus izin tanah. Nantinya, ujar Sri, masing-masing menteri akan merumuskan insentif sesuai bidang yang diurus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement