REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengaku kesulitan mengekspor beras. Budi Waseso beralasan karena harga beras mahal akibat biaya produksi yang tinggi.
"Saya berusaha untuk ekspor. Sebenarnya yang membutuhkan beras kita itu banyak, hanya saja harganya tidak masuk, karena beras kita terlalu mahal," kata pria yang akrab disapa Buwas tersebut saat halal bihalal di Bulog Corporate University Jakarta, Selasa (2/7).
Buwas menjelaskan rencana ekspor beras dilakukan karena saat ini stok beras menumpuk di gudang Bulog yang jumlahnya mencapai 2,4 juta ton. Volume tersebut terdiri dari 2,2 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 143 ribu ton beras komersial.
Opsi untuk melakukan ekspor beras dilakukan agar Bulog bisa memaksimalkan penugasanmenyerap produksi petani, terutama pada masa panen gadu bulan Agustus nanti. Bulog juga ditugaskan untuk menyiapkan CBP sebesar 2,5 juta ton hingga akhir tahun ini.
Namun demikian, upaya ekspor tidak bisa direalisasikan karena harga beras Indonesia yang tidak kompetitif dibanding negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand.
Biaya produksi beras di kedua negara tersebut terbilang murah karena prosesnya menggunakan mekanisasi alat dan mesin pertanian. Mekanisasi pertanian lebih efektif ketimbang metode konvensional atau manual yang masih diterapkan di Indonesia.
Buwas menambahkan Perum Bulog tengah mempertimbangkan ekspor beras ke Papua Nugini atau Timor Leste dalam rangka pelepasan stok untuk menghindari penurunan mutu kualitas beras yang sudah tersimpan dalam gudang. Rencananya Bulog akan mengajukan izin untuk melepas stok CBP sebanyak 1 juta ton dari total 2,2 juta ton.
"Mekanismenya diajukan, diizinkan tidak kita melepas CBP. Kalau sudah diputuskan, banyak yang membutuhkan juga, bisa melalui ekspor karena Timor Leste dan Papua Nugini membutuhkan," katanya.