Senin 01 Jul 2019 18:01 WIB

Kemenhub Anggarkan Rp 200 M untuk Skema Pembelian Layanan

Dana Rp 200 miliar untuk memaksimalkan operasional Bus Rapid Transit.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Gita Amanda
Bus Rapid Transit (BRT)
Foto: wikipedia
Bus Rapid Transit (BRT)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenkhub) sudah menyusun anggaran untuk mendukung program skema baru pembelian layanan atau buythe service untuk memaksimalkan operasional Bus Rapid Transit (BRT). Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan Kemenhub menyusun anggaran Rp 200 miliar untuk penerapan skema tersebut.

Dia mengatakan skema tersebut rencananya akan dilakukan tahun depan. "Ini untuk 2020, anggarannya sudah kita masukkan sekarang," kata Budi di Jakarta, Senin (1/7).

Baca Juga

Dari total anggaran terseut, Budi memastikan akan dibagi terlebih dahulu untuk penerapannya di tiga kota yang rencananya Solo, Medan, dan Palembang. Untuk besaran anggaran yang dibagi, saat ini Budi belum bisa memastikannya.

"Anggaran ini nanti tergantung kajian dan koridornya. Kalau Medan kan banyak koridornya nih, mungkin kalau Palembang nggak," tutur Budi.

Untuk operator BRT dengan skema tersebut, Budi menegaskan tidak akan lagi diberikan kepada Pemerintah Daerah namun swasta. Budi mengatakan Pemerintah Daerah akan membuka lelang operator bagi swasta. Pemerintah Daerah nantinya hanya menentukan koridor yang akan ditetapkan.

"Kalau mulai 2020 saya harapkan kan anggaran sudah dimasukkan tinggal ketuk palu. Nanti tinggal bulan Oktober atau November lelang," ujar Budi.

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai skema pembelian layanan dari Kemenhub terseut tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Djoko menuturkan sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada.

"Pemilik armada bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan," tutur Djoko.

Bahkan, Djoko menganggap program tersebut terbilang murah karena menghabiskan biaya operasional pertahun sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar. "Ini tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan," jelas Djoko.

Selain itu, lanjut Djoko, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, cukup dengan jaringan jalan yang sudah ada. Djoko mengatakan nantinya juga tidak perlu membangunan halte namun cukup memberikan rambu pemberhentian bus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement