Jumat 17 May 2019 10:29 WIB

Uni Eropa Denda Raksasa Perbankan karena Curangi Pasar Valas

Bank yang terkena denda diantaranya Barclays, Citigroup dan JP Morgan

Rep: Puti Almas/ Red: Nidia Zuraya
Transaksi valas -ilustrasi
Transaksi valas -ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL — Uni Eropa memberikan denda gabungan sebesar 1,07 miliar euro atau sekitar 1,2 miliar dolar AS terhadap Barclays, Citigroup, JP Morgan, MUFG dan Royal Bank of Scotland pada Kamis (16/5). Langkah itu dilakukan setelah bank-bank tersebut mencurangi pasar valuta asing (valas) hingga multi-triliun dolar AS.

Bank-bank tersebut telah melakukan kecurangan dalam banyak transaksi keuangan sehari-sehari terkait pasar valuta asing dalam satu dekade terakhir. Hal ini telah merusak reputasi industri yang rapuh di Eropa pascar terjadinya krisis keuangan.

Baca Juga

Komisi Eropa mengatakan para pebisnis individu di bank-bank yang terlibat membentuk dua kartel untuk memanipulasi pasar valuta asing dalam 11 mata uang. Termasuk diantaranya adalah dolar AS, euro, dan poundsterling.

“Tindakan kartel ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa Komisi tidak akan mentolerir perilaku kolusif di setiap sektor pasar keuangan," ujar pernyataan Komisaris Persaingan Eropa Margrethe Vestager dalam sebuah pernyataan.

Citigroup dilaporkan mendapatkan denda tertinggi, yaotu sebesar 311 juta euro. Sementara itu, bank asal Swiss, UBS sebelumnya memperingatkan mengenai kedua kartel tersebut kepada Komisi Eropa dan tidak mendapatkan denda.

Dalam investigasi selama lima tahun menemukan sembilan pebisnis yang tersebar di sejumlah bank. Mereka bertukar informasi sensitif dan rencana perdagangan, serta strategi perdagangan terkoordinasi melalui ruang percakapan.

Ruang percakapan tersebut memiliki nama seperti Essex Express n the Jimmy. Hal itu karena masing-masing pebisnis tinggal di Essex dan hanya seorang bernama James yang tidak. Mereka saling mengenal sebelum membuat ruang obrolan tersebut dan pernah bertemu saat pergi menuju Ibu Kota London di Inggris.

"Para pebisnis yang merupakan pesaing langsung, biasanya masuk ke ruang obrolan multilateral dan melakukan percakapan yang luas tentang berbagai hal, termasuk pembaruan berulang tentang kegiatan perdagangan mereka," ujar Komisi Penegakan Kompetisi Uni Eropa.

Kartel "Essex Express", yang juga melibatkan ruang obrolan yang disebut "Semi Grumpy Old Men", yang dimulai antara Desember 2009 hingga Desember 2012. Sementara, kartel kedua disebut dengan nama "Three Way Banana Split" dan melibatkan ruang obrolan lainnya bernama “Two and a half men” dan “Only Marge”.

Informasi yang ditukar oleh para pebisnis di ruang obrolan termasuk perincian tentang pesanan klien mereka. Terkadang, pebisnis akan megkoordinasikan kegiatan perdagangan, misalnya melalui praktik yang disebut 'mundur' di mana beberapa kelompok akan menghentikan perdagangan sementara untuk menghindari campur tangan dengan yang lain.

Kartel "Three Way Banana Split", yang terdiri dari pebisnis di UBS, Barclays, RBS, Citigroup dan JP Morgan diberikan denda senilai total 811,2 juta euro. Grup Essex Express yang melibatkan UBS, Barclays, RBS dan MUFG, didenda denda 257,7 juta euro, dengan denda terhadap Barclays yang terbesar untuk kartel ini, yaitu 94,2 juta euro.

Dugaan manipulasi yang meluas di pasar valuta asing pertama kali dilaporkan pada 2013. Tepatnya terjadi setelah skandal Libor pada 2012, di mana para pedagang diketahui telah memperketat pengaturan suku bunga pinjaman antar bank.

Pihak berwenang Inggris dan Amerika kemudian mendenda tujuh bank papan atas dunia dengan total 10 miliar dolar AS karena mencoba memanipulasi nilai tukar mata uang asing. Sementara itu, jaksa Amerika mengatakan segelintir pedagang melakukan kecurangan valas.

Sementara itu, tiga mantan pedagang mata uang yang berbasis di London dibebaskan dari semua tuduhan Oktober 2018. Kantor untuk urusan penipuan di Inggris, UK Serious Fraud Office (SFO) membatalkan investigasi valas pada 2016 dan mengatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk prospek yang realistis dari hukuman terhadap individu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement