REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong emiten untuk lebih banyak menerbitkan sukuk. Direktur Pasar Modal Syariah OJK Fadilah Kartikasasi mengungkapkan, jumlah emiten yang menerbitkan sukuk relatif masih sedikit.
Pasar sukuk di Indonesia pun saat ini masih didominasi oleh instrumen pemerintah.
"Emiten yang menerbitkan sukuk itu-itu saja, tidak banyak menyebar ke perusahaan lain. BUMN yang kita harapkan juga belum banyak," ujar Fadilah dalam acara diskusi dengan media, Kamis (9/5) malam.
Fadilah menjelaskan, baru 22 sukuk korporasi yang diterbitkan per April 2019 dan berasal dari enam emiten. Total nilai sukuk yang diterbitkan, yaitu sebesar Rp 3,33 triliun.
Secara total, sejak 2013 hingga saat ini, nilai outstanding sukuk korporasi mencapai Rp 24,28 triliun dengan jumlah 120 sukuk. Sedangkan, nilai outstanding sukuk negara saat ini mencapai Rp 686,88 triliun.
Menurut Fadilah, salah satu faktor penyebab rendahnya penerbitan sukuk korporasi adalah emiten belum memahami sukuk. Dia mengatakan, masih banyak emiten yang menilai bahwa sukuk tidak likuid.
Selain itu, kata Fadilah, penerbitan sukuk juga dianggap lebih rumit dari sisi persyaratan dibandingkan menerbitkan obligasi konvensional. Untuk menerbitkan sukuk, emiten diharuskan memiliki underlying asset. Di samping itu, emiten juga wajib memiliki tim ahli syariah (TAS).
"Memang ada tambahan biaya sedikit untuk TAS, tapi tidak signifikan dan bisa dikompensasi dengan penghematan atau potongan 0,05 persen dari emisi," ujar Fadilah.
Menurut Fadilah, satu-satunya cara untuk memberikan solusi atas permasalahan likuiditas adalah dengan memperbanyak suplai. Dengan adanya suplai yang banyak, otomatis likuiditas akan meningkat.
Selama ini, Fadilah mengungkapkan, OJK juga telah berusaha memberikan insentif pengurangan biaya registrasi untuk penerbitan sukuk. Emiten sudah bisa langsung menerbitkan sukuk setelah satu tahun melakukan penawaran umum berkelanjutan (PUB). Sedangkan untuk menerbitkan obligasi harus menunggu hingga dua tahun setelah PUB.
Sementara, transaksi reksa dana syariah diharapkan meningkat signifikan seiring dengan kehadiran platform daring atau digital. OJK menyebutkan, pertumbuhan dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana syariah meningkat 200 persen dalam lima tahun terakhir.
"Perkembangan industri reksa dana syariah dalam lima tahun ke depan diperkirakan akan meningkat pesat berkat digital. Apalagi, dengan berkembangnya generasi milenial yang produktif menghasilkan dan membelanjakan uang serta mayoritas Muslim. Dari situ, pangsa syariah masih sangat luas," kata Deputi Direktur Pasar Modal Syariah OJK, M Touriq.
Dibandingkan dengan konvensional, dana kelolaan reksa dana syariah memang terbilang masih kecil, yakni Rp 35,38 triliun per April 2019 dibandingkan dengan total keseluruhan dana kelolaan reksa dana di Indonesia yang mencapai Rp 520,9 triliun.
(Ikuti Ulasan dan Analisis Berita-Berita Aktual di Republika.co.id , Klik di Sini)
(ed: ahmad fikri noor)