Kamis 11 Apr 2019 18:56 WIB

Petani Keberatan Wajib Tanam Bawang Putih untuk Importir

Sejak 1998 impor bawang putih terus meningkat setiap tahunnya.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Bawang putih
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Bawang putih

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR – Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih meminta kepada pemerintah untuk mengontrol stok bawang putih milik importir. Menurutnya, kontrol tersebut diperlukan seiring dengan upaya pemerintah memperluas wilayah-wilayah penanaman baru komoditas bawang putih.

Di samping itu, pihaknya mengaku petani keberatan dengan berlakunya kewajiban tanam yang diberikan kepada importir. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) disebutkan, para importir diwajibkan ketentuan tanam sebesar lima persen dari kuota impor yang ditentukan pemerintah.

Baca Juga

Aturan tersebut menurut Henry keliru dan terkesan menutup peluang bagi petani. “Harusnya yang nanam itu kita (petani),” kata Henry saat dihubungi Republika, Kamis (11/4).

Dia menjelaskan, jika kewenangan wajib tanam dihilangkan dari importir, maka Kementerian Pertanian (Kementan) perlu menggenjot pemberdayaan petani dari segala sektor agar mampu berdaya saing menghasilkan bawang putih. Menurutnya, Kementan perlu memberdayakan kemampuan koperasi serta kelompok tani untuk menanam bawang putih.

Dukungan yang diberikan, kata dia, dapat berupa pemberian bibit, perluasan lahan tanam yang memiliki potensi tanam, serta terobosan inovasi agar produksinya dapat meningkat. Menurutnya, berdasarkan kondisi riil di lapangan yang dialami petani, sejak 1998 impor bawang putih terus meningkat setiap tahunnya.

“Dulu kita bisa swasembada bawang putih. Pada 1998, impor kita hanya 10 persen saja dan semakin naik,” kata Henry.

Henry menilai, penumbuhan sentra bawang putih dapat saja dikembangkan pemerintah meski Indonesia bukan merupakan negara dengan iklim subtropis. Dia menyebutkan, baru-baru ini Kementan juga pernah menyebutkan ada potensi lahan tanam yang baik di wilayah Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Oleh karena itu dia optimistis, produksi bawang putih di tanah air dapat terlaksana dengan baik dengan catatan petani yang diberikan mandat sebagai penanam.

Sambil menunggu realisasi produksi berjalan, pihaknya juga meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengatur stok impor dan menyusun regulasi proteksi yang bersinggungan dengan petani. Misalnya, distribusi bawang putih impor diharapkan tidak memasuki wilayah sentra bawang putih lokal.

“Ya karena kalau masuk ke wilayah produsen bawang putih lokal, secara harga pasti bawang putih petani kalang saing dengan bawang putih impor asal Cina itu,” katanya.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, kenaikan harga bawang putih hampir menembus 46 persen dibanding harga normal berkisar Rp 27 ribu per kilogram (kg). Menurutnya, pengunduran importasi berpotensi mengerek harga semakin tinggi dan menyebabkan inflasi.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2019 terjadi inflasi sebesar 0,11 persen. Adapun rincian sektor yang berkontribusi pada inflasi antara lain harga tiket pesawat sebesar 0,03 persen, bawang merah sebesar 0,06 persen, bawang putih sebesar 0,04 persen, dan cabai merah sebesar 0,01 persen.

“Dari akhir bulan lalu sudah terdengar ada rencana pengunduran impor (bawang putih) pun, harga sudah mulai semakin naik,” kata Nailul saat dihubungi Republika, Kamis (11/4).

Lebih dari dua pekan terakhir jika mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga bawang putih  berada pada rata-rata kisaran Rp 46.250-Rp 52.300 per kilogram (kg). Menurut Nailul, harga tersebut sudah masuk dalam kategori sangat tinggi sehingga pemerintah perlu melakukan antisipasi yang terukur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement