REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah berencana menerbitkan 10 kali surat berharga negara (SBN) khusus investor ritel pada 2019. Penerbitan ini dilakukan sebagai cara untuk membiayai anggaran dan masyarakat bisa turut berpartisipasi mendukung pembangunan negara dengan menjadi investor SBN.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Luky Alfirman mengatakan target penerbitan semester I 2019 diperkirakan sebesar 50-60 persen dari penerbitan SBN bruto. "Penerbitan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan utang, pengembangan pasar SBN, kebutuhan kas, dan refinancing utang jatuh tempo," ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (3/4).
Menurutnya pemerintah masih akan memanfaatkan strategi front loading dalam pembiayaan menggunakan SBN pada 2019. Langkah ini sebagai upaya pemerintah untuk mengelola pembiayaan APBN dengan efektif.
Sedangkan, APBN-P lebih kepada pengelolaan APBN secara menyeluruh. Pemerintah memungkinkan untuk dapat mengajukan APBN-P dalam hal kinerja pendapatan dan belanja negara serta pembiayaan tidak sesuai dengan perencanaan.
"Namun demikian, sejauh ini pelaksanaan APBN 2019 masih on-track, sehingga belum diperlukan pembahasan terkait dengan APBN-P 2019," jelasnya.
Luky menjelaskan salah satu pertimbangan utama dalam pengadaan utang adalah mengamankan kebutuhan pembiayaan dan kebutuhan kas negara, baik untuk belanja negara maupun untuk pembayaran utang jatuh tempo atau refinancing. Kebutuhan kas negara pada kuartal II cukup tinggi, sehingga pemerintah melakukan strategi front loading.
Selain itu strategi front loading dalam penerbitan SBN juga didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama sebagai respon (upaya mitigasi risiko) atas kondisi pasar global yang diliputi ketidakpastian dan volatilitas, seperti kenaikan suku bunga Fed (Fed Fund Rate), perkembangan perang dagang antara AS-China, rencana Brexit Inggris, dan volatilitas harga minyak dunia.
Kedua, memanfaatkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada kuartal I. "Kebijakan untuk menjalankan strategi ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru dilakukan dan terbukti cukup efektif untuk mengelola kebutuhan pembiayaan APBN dalam situasi yang diliputi ketidakpastian," ungkapnya.
Selanjutnya, Luky mengungkapkan penerbitan yang tinggi pada kuartal I 2019 diperuntukkan sebagai mitigasi pembayaran utang jatuh tempo kuartal II yang relatif tinggi dan sebagai mitigasi kemungkinan berkurangnya likuiditas pada kuartal II sebagai dampak dari tingginya belanja masyarakat karena pemilu dan lebaran.
"Strategi front loading SBN yang dilakukan pun masih dalam jumlah yang tidak terlalu besar, sebagai contoh untuk 2018, gross issuance yang dilakukan perbandingannya adalah 56 : 44 untuk masing-masing semester I dan II," paparnya.
Menurutnya pada tahun ini secara bruto memang pemerintah melakukan penerbitan SBN sebesar 50-60 persen, di mana hal ini dilakukan setelah memperhitungkan jatuh tempo SBN yang cukup besar. Namun demikian, secara neto penerbitan SBN semester I hanya sebesar 40-45 persen dari target SBN neto 2019.
"Untuk awal tahun ini penerbitan juga dilakukan lebih banyak untuk SBN valas sehingga tidak akan mengganggu pasar domestik. Sementara itu, penerbitan SBN domestik dilakukan upsize secara hati-hati," jelasnya.
Selain itu, pemerintah tetap menjaga upaya pengembangan pasar SBN domestik dengan melakukan lelang SBN secara teratur dengan jumlah yang terukur.