Rabu 27 Mar 2019 08:49 WIB

CIPS: Nilai Tukar Rupiah Diprediksi Stabil di Tahun Politik

BI perlu memperkuat kerjasama dengan bank sentra negara tetangga untuk perkuat rupiah

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Putu Rusta Adijaya memproyeksikan, nilai tukar rupiah yang sempat melemah selama 2018 akan stabil di tahun politik. Kestabilan ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah sikap The Fed yang tidak akan menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini.

Putu mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terapresiasi seiring posisi dovish The Fed yang menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuan. Apresiasi nilai tukar rupiah ini seiring dengan kepercayaan investor pada ekonomi Indonesia di tengah pelambatan ekonomi global.

Baca Juga

Tapi, posisi dovish The Fed perlu diwaspadai oleh otoritas moneter di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. "Posisi dovish menandakan The Fed juga concern terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang diproyeksi turun 0,2 percentage point di 2019 dan 0,1 percentage point di 2020," kata Putu dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (27/3).

Bank Indonesia juga perlu memperkuat kerja sama dengan bank sentral negara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia untuk mekanisme Local Currency Swap (LCS). Penerapan kebijakan ini, dinilai Putu, dapat memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah di tengah pelambatan ekonomi global dan perang dagang.

Namun, Putu juga menekankan perlunya kewaspadaan pemerintah terhadap berbagai kemungkinan yang ada. Pemerintah perlu tetap mewaspadai dampak perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.

Perang dagang harus diantisipasi supaya tidak berkembang menjadi currency war atau perang nilai tukar. Apabila China mendevaluasi mata uangnya lagi, maka nilai tukar renminbi akan semakin melemah.

Kalau sampai hal ini terjadi, Putu menjelaskan, ekspor Cina akan semakin murah sehingga barang-barang mereka akan tersebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini akan mengurangi competitiveness of goods.

"Asumsi ceteris paribus, Indonesia akan mengimpor barang dari Cina, terjadi trade deficit, dan mempengaruhi nilai tukar rupiah," tuturnya.

Pemerintah juga perlu mewaspadai kondisi Current Account Deficit (CAD). Sebab, salah satu komponen dari CAD ini adalah trade balance. Jika terjadi currency war, Putu menuturkan, maka jumlah CAD akan semakin besar dan investor akan bersikap spekulatif yang akhirnya mempengaruhi nilai tukar secara mendalam.

Dilansir di CNN.com, The Fed mempertahankan suku bunga acuan pada Rabu (20/3) waktu setempat. Keputusan ini sesuai dengan ekspektasi pasar. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memutuskan kebijakan ini guna mendorong lapangan kerja dan stabilitas harga.

FOMC memutuskan mempertahankan Fed Fund Rate di kisaran 2,25 persen hingga 2,50 persen. FOMC melihat ekspansi berkelanjutan dari kegiatan ekonomi, kondisi pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi mendekati target, yakni dua persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement