Selasa 26 Mar 2019 18:51 WIB

Tumpang Tindih Izin Lahan Terbanyak di Sumatra-Kalimantan

13,3 persen lahan dari total luas pulau Sumatra izinnya tumpang tindih

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Hutan tanaman industri bahan baku pulp dan kertas terlihat dari udara di Provinsi Riau
Foto: Antara/FB Anggoro
Hutan tanaman industri bahan baku pulp dan kertas terlihat dari udara di Provinsi Riau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Informasi Geospasial menyebut, permasalahan penggunaan lahan, terutama soal izin yang tumpang tindih paling banyak ditemukan di Pulai Sumatera dan Kalimantan. Tahun ini, BIG menargetkan agar masalah tumpang tindih itu bisa diselesaikan.

“Paling banyak kasus tumpang tindih (izin) di Kalimantan dan Sumatera. Kita mencoba menyelesaikan masalah ini secepat mungkin,” kata Kepala BIG, Hasanuddin Abidin usai Rapat Koordinasi One Map Policy di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Selasa (26/3).

Baca Juga

Hasanuddin memerinci, terdapat 13,3 persen lahan dari total luas pulau Sumatera 473.481 kilometer persegi yang izinnya tumpang tindih. Sedangkan di Kalimantan, tumpang tindih lahan mencapai 19,3 persen dari total luas pulau 743.339 kilometer persegi. Ia menyebut, akibat tumpang tindih itu, Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy mengalami kendala.

Tumpang tindih itu diketahui sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Ia mencontohkan, tumpang tindih yang terjadi, semisal izin suatu wilayah adalah izin perkebunan, namun juga tercantum dalam izin pertambangan.

“Nah, ini siapa yang punya. Siapa yang dimenangkan? Itu yang sedang kita cari prosedur penyelesaiannya. Bagaimana langkah dan mekanismenya,” katanya.

Contoh lain, ada suatu lahan yang telah memiliki surat Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1994. Namun, seiring berjalannya waktu, lahan itu diklaim melalui Surat Keputusan Menteri KLHK sebagai area hutan produksi. Tak hanya itu, tumpang tindih juga kerap kali terjadi antara izin daerah dan izin pusat.

BIG memastikan, tahun ini peta indikatif untuk lahan yang tumpang tindih itu bisa diselesaikan. BIG juga sembari menganalisis dan menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan yang terjadi di pulau-pulau lain.

“Presiden juga sudah meminta agar One Map Policy bisa dimanfaatkan secepat mungkin. Bahkan, kalau bisa skalanya diturunkan menjadi 1:5000 agar peta lebih detail,” ujarnya.

Seperti diketahui, peta dalam One Map Policy yang sudah ada saat ini memiliki skala 1:50.000. Namun, perbandingan tersebut dinilai Presiden Joko Widodo masih terlalu besar sehingga perlu didetailkan untuk mendapatkan akurasi peta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement