REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Guntur Rotua menilai, penguasaan pasar dan bisnis ternak ayam oleh peternak besar tidak dibarengi dengan pengawalan pemerintah. Sebab hingga saat ini, peternak besar cukup leluasa menentukan harga jual sarana produksi peternakan (sapornak) ayam.
Adapun sapornak merupakan sektor hulu peternakan mulai dari bibit anak ayam atau day old chicken, pakan ayam, hingga obat-obatan dan vitamin ayam. Sementara itu, peternakan besar menjual sapornaknya lebih murah untuk pembiakan ayam yang juga dikuasai perusahaan-perusahaan tersebut.
“Jadi mereka bisa berproduksi dengan sangat murah, jual murah. Sementara kami (peternak mandiri), tidak bia mengimbangi itu,” katanya kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (8/3).
Dia mencontohkan, harga DOC idealnya berkisar Rp 5.500 per ekor sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah atau dalam hal ini Kementerian Perdagangan. Akan tetapi, lanjutnya, perusahaan ternak besar justru menjual dengan harga Rp 6.000 per ekor. Selain tidak adil dalam menentukan harga, dia juga menilai, peternak besar tak juga menurunkan harga pakan ternak meski harga jagung sudah turun.
Guntur menjelaskan, sebelumnya perusahaan ternak berdalih harga DOC tinggi lantaran harga jagung nasional ikut naik. Dia menilai, harga pakan lebih tinggi Rp 700-Rp 800 per kilogram dari harga seharusnya.
“Seharusnya, harga pakan ternak juga ikut turun seiring dengan panen raya jagung yang diadakan pemerintah baru-baru ini,” katanya.
Karena persoalan tersebut, peternak mandiri mau tidak mau membanderol harga ayam produksi mereka di atas harga ayam produksi peternak besar di pasaran. Yang mana dari kondisi tersebut, kata dia, konsumen lebih cenderung memilih ayam dengan harga yang lebih murah.