REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Pansus RUU Pertembakauan DPR Firman Soebagyo memastikan bahwa berbagai kebijakan terkait cukai rokok masih tetap ditunda implementasinya. Penundaan setidaknya sampai tahun politik berakhir.
“Tidak ada unsur politis di balik penundaan itu. Yang pasti, kita semua sedang sibuk dengan pemilu. Lagi pula, soal itu (penetapan tarif cukai rokok) merupakan domain pemerintah, bukan domain DPR. DPR hanya melakukan kajian saja,” ujar Firman dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/3).
Selain membatalkan kenaikan cukai rokok pada 2019, pemerintah juga telah menunda penerapan kebijakan terkait penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok juga rencana menggabungkan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM). Penegasan Wakil Ketua Komisi IV DPR tersebut sekaligus menganulir desakan dari koleganya di Komisi XI yang mengusulkan untuk menerapkan penggabungan volume produksi SKM dan SPM pada 2019 ini.
Penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 diusulkan segera diterapkan dengan pertimbangan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari cukai.
Dua anggota Komisi XI DPR, Indah Kurnia dari Fraksi PDI Perjuangan dan Amir Uskara dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mendorong kembali wacana tersebut pada Februari 2019 lalu. Sedangkan, PMK 146/2017 tersebut telah direvisi dan ditunda pelaksanaannya lewat penerbitan PMK 156/2018, yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 12 Desember 2018.
Firman Soebagyo menambahkan, penundaan berbagai kebijakan terkait cukai rokok tidak lepas dari urgensi untuk melakukan kajian yang lebih komprehensif. Di samping itu, perlu mendengarkan aspirasi dari petani tembakau dan pelaku usaha, agar tidak salah dalam membuat kebijakan.
Politisi senior Partai Golkar ini berpendapat, kebijakan simplifikasi tarif cukai Itu memang berpotensi merugikan masyarakat. Utamanya, para petani tembakau dan perusahaan rokok kecil. ”Selain itu, ada jutaan buruh linting kretek yang juga sangat tergantung hidupnya dari industri nasional hasil tembakau (IHT),” kata Firman.