REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan penggunaan minyak fosil sebagai bahan bakar pembangkit akan dikurangi terus secara bertahap. Targetnya, hingga 10 tahun ke depan, rasio penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dalam bauran energi hanya 0,4 persen. Selebihnya, pemerintah mendorong pemanfaatan crude palm oil (CPO) sebagai pengganti BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menjelaskan alasan pemerintah melakukan kebijakan ini karena persoalan harga. Harga BBM yang tidak bisa terprediksi dan cenderung mahal akan membuat beban bagi PLN. Selain itu, kata Jonan, pembangkit dengan BBM tidak ramah lingkungan.
"Kita mau besok komposisi BBM hanya 0,4 persen. Kita akan turunkan secara bertahap. Di satu sisi kita genjot untuk penggunaan CPO," ujar Jonan di Kementerian ESDM, Rabu (20/2).
Ia meminta juga kepada PLN untuk bisa mengganti komponen PLTD untuk bisa kompeten dengan bahan bakar nabati. "Penting sekali bahwa PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) PLN diganti dengan BBN tentunya tidak termasuk BBM. Kalau BBN Bahan Bakar Nabati (BBN)," tutur Jonan.
Selain itu, untuk mengurangi penggunaan BBM ada pilihan dengan menarik jaringan PLN ke wilayah yang sebelumnya mendapat pasokan listrik dari PLTD. Alternatif tersebut akan dipilih sesuai dengan efektivitas pengurangan BBM.
"Caranya bisa dua, bisa pembangkit baru atau jaringan tergantung mana yang efisien. Untuk pembangkit baru bisa pembangkit PLTS, bisa gas," tandasnya.
Dalam RUPTL, program kelistrikan nasional selama 10 tahun ke depan, porsi batubara dalam bauran energi sebesar 54,6 persen, Energi Baru Terbarukan 23 persen, gas 22 persen dan Bahan Bakar Minyak ( BBM) sebesar 0,4 persen.