REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menanggapi polemik masih adanya impor jagung. Padahal, menurut dia, sejak 2017, Indonesia sudah tidak melakukan impor lagi.
"Jadi, sebenarnya kemarin itu, 2017, tidak ada impor. Kemudian pada 2018, kita justru sudah ada ekspor sebanyak 380 ribu ton. Hanya saja, di ujung tahun itu ada impor 100 ribu ton," kata Amran menjawab Republika.co.id, disela-sela kunjungan panen raya jagung di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Rabu (30/1).
Impor terjadi karena pemerintah mengizinkan para pengusaha besar untuk melakukan impor. "Itu kita keluarkan izin jagung untuk pakan ternak 100 ribu ton, untuk pengusaha besar. Namun, mereka (pengusaha) tidak realisasikan impor ini, impor jagung untuk pakan," ungkapnya.
Alasannya, kata Amran, karena para penghusaha itu terkendala dengan persoalan nilai tukar dolar AS yang menguat. Saat itu, ada selisih harga sebesar Rp 1.000 dari nilai tukar dolar terhadap rupiah.
Kondisi itulah, kata Amran, yang menyebabkan para pengusaha besar tadi tidak dapat merealisasikan impornya. Mereka menganggap harga jagung di dalam negeri lebih murah dibanding jagung impor. "Ini persoalannya," ucapnya.
Akibatnya, kata Amran, mereka mengambil jagung kepada petani-petani kecil, sehingga terjadi kekosongan. Padahal di sisi lain, kata dia, ada 2,5 juta peternak yang harus dilindungi usahanya.
"Nah, kekosongan ini tidak boleh terjadi. Kita harus melindungi peternak. Dan kami mengambil keputusan untuk segera mengadakan impor. Ini daripada mematikan peternak 2,5 juta. Itu yang tidak boleh dibiarkan," tegas Mentan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman didampingi Gubernur Gorontalo Rusli Habibie dan sejumlah pejabat terkait tengah melakukan panen raya jagung, di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Rabu (230/1).
Sesungguhnya, dikatakan Amran, pada 2018 Indonesia sudah surplus jagung dan 380 ribu ton di antaranya diekspor. Kata dia, jika impornya mencapai 100 ribu ton jagung, maka hal ini berarti Indonesia masih suplus 280 ribu ton.
"Dan perlu diingat, dulu impor itu 3,5 juta ton, nilainya mencapai Rp 10 triliun. Itu yang kita setop. Kalau tiga tahun berturut-turut, kita menyelamatkan devisa negara sekitar Rp 30 trilun," ujarnya.
"Kita harus fair. Bahwa impor 100 ribu ton itu sangat kecil, dibanding impor dulu yang 3,5 juta ton. Dan itu pun sudah setop," ujarnya.
Bahkan, kata Amran, hari ini, sejumlah daerah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawei dan juga Gorontalo tengah mengadakan panen jagung.
"Memang ada yang mengatakan surplus, tapi kok ada impor. Ya tadi, memang suplus. Logika matematikannya sederhana, ekspor 380 ribu, impor 100 ribu ton, berarti suplus. Tapi, kita menyetop 3,5 juta ton impor. Itu yang menarik. Coba sekarang lihat hasilnya, nyata bukan basa-basi. Jangan menyebar hoaks ya," tegas Mentan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, importasi jagung dilakukan atas permintaan peternak ayam. Dia menyampaikan, peternak meminta harga jagung bisa diturunkan agar mengurangi komponen biaya pakan.
Darmin menjelaskan, pada 2018, impor jagung ditetapkan hanya sebesar 100 ribu ton karena diprediksi akan terjadi panen pada awal 2019. Akan tetapi, pasokan jagung masih belum bisa mencukupi kebutuhan peternak ayam baik petelur maupun pedaging. Bahkan, impor jagung yang ditambah 30 ribu ton pada awal bulan ini langsung habis diserap peternak.
"Sehingga, Bulog kemudian mengatakan karena panennya belum ada, di Jatim juga belum, maka kemudian dari hasil diskusi kita, ini harus ditambah," kata Darmin.
Akan tetapi, Darmin menekankan, impor jagung hanya boleh dilakukan maksimal hingga pertengahan Maret 2019. Ini supaya jagung hasil impor tidak mengganggu produksi jagung dalam negeri.
"Kalau hanya bisa diimpor 100 ribu ton, ya 100 ribu ton. Kalau kurang dari situ, ya kurang dari situ. Pokoknya batasnya pertengahan Maret," tegas Darmin.