REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai posisi strategis Indonesia sebagai pintu masuk produk-produk pertanian utama Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara berpotensi membawa dampak negatif bagi keberlanjutan usaha tani pangan di dalam negeri. Masuknya jagung dan kedelai impor dengan harga lebih murah dibandingkan harga domestik dinilai akan menurunkan insentif petani lokal untuk menanam kedua komoditas tersebut.
“Padahal pemerintah sudah mencanangkan swasembada untuk komoditas pertanian pokok, termasuk jagung dan kedelai,” kata Faisal dalam CORE Insight bertajuk “Biaya Mahal Negosiasi Tarif” di Jakarta, Senin (11/8/2025).
Faisal menjelaskan, sektor pertanian AS tengah menghadapi krisis akibat pasar global yang tidak menentu, imbas perang tarif era Trump. Sepanjang 2024–2025, kebangkrutan petani kecil di AS melonjak hingga 57 persen. Pada semester I 2025 saja, tercatat 173 kasus kebangkrutan yang merupakan tertinggi sejak 2020.
Kondisi tersebut diperparah oleh keputusan Cina mengalihkan pembelian kedelai dan jagung ke Brasil serta Amerika Latin. “Kehilangan akses pasar Cina menyebabkan kelebihan suplai di AS, harga komoditas anjlok, dan margin keuntungan petani menurun,” ujarnya.
Menurut Faisal, penurunan permintaan Cina yang sebelumnya menyerap 51,9 persen kedelai AS, mendorong Negeri Paman Sam mencari pasar baru, termasuk Indonesia.
Ia menilai komitmen Indonesia yang membuka pintu dan membeli produk kedelai serta jagung AS lebih menguntungkan pihak AS untuk mengatasi surplus produk, ketimbang memberikan manfaat nyata bagi Indonesia. Ironisnya, produk pertanian AS tidak selalu unggul dalam harga.
“Terdapat dilema dalam komitmen pembelian dari AS yang bertentangan dengan prinsip efisiensi ekonomi,” kata Faisal.
Contohnya, harga gandum dari AS sebesar 233 dolar AS per MT, lebih tinggi dibandingkan Rusia (228 dolar AS per MT) yang menjadi pemasok kelima ke Indonesia. Untuk kedelai, harga dari AS sebesar 418 dolar AS per MT, sedangkan Argentina menawarkan 405 dolar AS per MT.
“Komitmen pembelian 4,5 miliar dolar AS kepada AS akan membuat Indonesia kehilangan fleksibilitas memilih produk dengan harga lebih ekonomis,” ujarnya.
Faisal menekankan, Indonesia bisa melakukan diversifikasi impor yang lebih efisien, seperti memaksimalkan gandum dari Rusia atau kedelai dari Argentina. Jika tidak, kebijakan ini berisiko mengorbankan efisiensi sumber daya dan memberi subsidi implisit kepada eksportir AS. Dampaknya, biaya produksi industri makanan dan pakan ternak domestik akan meningkat.
Situasi ini semakin kompleks karena Indonesia saat ini surplus jagung. Pada 2024, produksi jagung nasional mencapai 15,14 juta ton, sedangkan konsumsi domestik hanya 12,47 juta ton. Sebaliknya, produksi kedelai domestik baru memenuhi 13 persen kebutuhan nasional.
“Pemerintah harus jeli membaca konteks AS yang meminta akses pasar. Jangan sampai defisit kedelai membuat kita mengorbankan petani kecil, terutama petani jagung yang kini sudah surplus,” tegas Faisal.
Ia mendorong pemerintah merevitalisasi infrastruktur irigasi dan mengembangkan benih unggul, termasuk rekayasa genetika, untuk meningkatkan produktivitas kedelai domestik. “Semangat swasembada kedelai hanya akan menjadi angin lalu jika kedelai AS semakin deras masuk ke pasar domestik,” ujarnya.