Selasa 29 Jan 2019 16:46 WIB

Dari Surat Utang Sampai Akhir Shutdown AS Dorong Rupiah

Kondisi ekonomi global saat ini memang menguntungkan bagi Indonesia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10).
Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah menunjukkan tanda-tanda penguatan dibanding dengan akhir 2018. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kondisi ini disebabkan oleh pasokan modal asing yang mengalir baik ke Indonesia. 

Di tengah pelemahan ekonomi global, Bhima menilai, ada peluang bagus yang dapat dan perlahan sudah ditangkap Indonesia. Dana asing akan mencari pasar berkembang dengan imbal hasil menarik dan kinerja emiten yang masih underperform. "Di mana itu adalah Indonesia," tuturnya ketika ditemui di Jakarta, Senin (28/1). 

Selain itu, Indonesia memiliki daya tarik dengan menawarkan surat utang yang berbunga tinggi. Bhima mencatat, surat utang dari Indonesia merupakan salah satu dengan bunga tertinggi dibanding dengan negara Asia lainnya. Di saat kondisi Eropa, Amerika dan Cina yang lesu, membeli surat utang Indonesia pun menjadi menarik. 

Di sisi lain, Bhima menambahkan, korporasi maupun pemerintah melakukan penerbitan surat utang secara masif pada Januari. Kondisi ini menyebabkan tingkat pembelian surat utang meningkat dan aliran dana asing masuk secara deras. 

Dari performa indeks harga saham gabungan (IHSG) pun, Bhima menilai, masih terbilang bagus. Meski industri ritel dikabarkan sedang lesu, emiten ritel masih terbilang layak untuk dikoleksi. Laba sejumlah bank BUMN pun terlihat besar di tengah bunga yang naik. "Investasi ke bank BUMN menjadi sesuatu hal yang menarik," ujarnya. 

Baca juga, Gubernur BI Optimistis Rupiah Menguat pada 2019

Jadi, Bhima menjelaskan, kondisi ekonomi global saat ini memang menguntungkan bagi Indonesia. Khususnya dari segi penguatan rupiah karena derasnya inflow yang masuk. 

Bhima belum dapat memastikan sampai kapan penguatan rupiah berlangsung. Setidaknya ada dua waktu keramat yang menjadi penentu. Pertama, pada Maret, momentum menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Investor yang selama ini masih wait and see akan membuat keputusan memulai ataupun ekspansi investasinya di Indonesia. 

Selain itu, pada Maret, perusahaan akan mengumumkan laporan keuangan yang menggambarkan ekspektasi kinerja emiten sepanjang tahun. Apabila ekspektasi pada kuartal pertama bagus, tidak menutup kemungkinan IHSG dapat lebih dari 6.600. "Kalau sebaliknya yang terjadi, bisa tertahan di batas bawah pada 4.400," kata Bhima. 

Waktu penentu berikutnya adalah November. Sebab, pada bulan tersebut, terjadi penentuan menteri-menteri di bidang perekonomian. Nakhoda tim ekonomi menjadi penentu kebijakan yang langsung secara teknis dan berdampak pada pasar. 

Bhima menyebutkan, penguatan rupiah juga tidak terlepas dari masa shutdown pemerintahan Amerika Serikat yang selesai. Dampaknya, sentimen hampir di semua bursa Asia sempat positif pada Jumat (25/1) karena investor dapat sedikit tenang dan optimistis berinvestasi di Indonesia. 

Optimisme pemerintah bahwa defisit transaksi berjalan bisa menurun sampai 2,5 persen juga memberikan kontribusi besar. Menurut Bhima, calon investor menjadi lebih yakin untuk mengalirkan modalnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement