REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyebutkan alokasi Bahan Bakar Nabati atau biodisel pada tahun ini sebesar 6.197.101 kiloliter (Kl). Alokasi tersebut untuk pencampuran BBM (B20) periode Januari-Desember 2019.
Berdasarkan Kepmen Nomor 2018 K/10/MEM 2018 yang ditetapkan 29 November 2018, ada sebanyak 18 badan usaha BBM yang mendapatkan alokasi biodiesel untuk program B20. PT Pertamina mendapatkan jatah 5.304.251 Kl, yaitu terbanyak dibandingkan badan usaha lainnya.
Sedangkan untuk pemasok BBN biodiesel terdapat 19 badan usaha, di mana PT Wilmar Nabati Indonesia memiliki volume terbesar dalam memberikan pasokan yaitu 904.431 Kl.
Kebijakan pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) berupa biodiesel sebesar 20 persen (B20) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai mampu menghemat impor solar sebesar 937,84 juta dolar AS sejak September 2018 dijalankan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto memaparkan, penyaluran FAME (Fatty Acid Methyl Ester) Biodiesel selama 2018 mencapai 1,67 juta kilo liter (KL).
Penerapan kebijakan B20 merupakan keseriusan Pemerintah dalam memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan, terutama mengurangi dominasi penggunaan bahan bakar fosil.
Di samping kebijakan B20, konversi BBM ke Liquified Petroleum Gas (LPG) juga diterapkan Pemerintah sebagai upaya diversifikasi energi.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan total sebanyak 6,55 juta Metrik Ton (MT) LPG bersubsidi dan 0,99 juta MT LPG Non-Subsidi disalurkan sepanjang tahun 2018 ke 530 SPBE PSO dan 103 SPBE Non-PSO. Penghematan yang didapat dari kebijakan konversi ini selama setahun sebesar Rp 29,31 triliun (unaudited).
Dalam laporan kinerja 2018 Kementerian ESDM, tercatat realisasi penjualan BBM mencapai 67,35 juta KL terdiri dari 16,12 juta KL BBM Bersubsidi (Solar, Minyak Tanah dan Premium) serta BBM Non-Subsidi sebesar 51,23 juta KL.