Ahad 27 Jan 2019 19:21 WIB

Upaya Menekan Defisit APBN di 2019 Dinilai Berat

Berat karena harga minyak dunia kemungkinan tertekan dibanding tahun lalu.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Joko Sadewo
Eric Sugandi
Foto: Wisnu Aji Prasetiyo/Republika
Eric Sugandi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Upaya pemerintah menekan defisit APBN demi mengurangi utang, dinilai akan menghadapi tantangan berat dibanding 2018. Hal ini karena harga minyak dunia akan tertekan dan lebih rendah dibanding tahun lalu.

Peneliti dari Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi tahun ini ada tantangan di sisi penerimaan APBN dibandingkan tahun lalu. Hal ini, menurut dia, karena harga minyak dunia mungkin akan tertekan dan lebih rendah daripada tahun lalu.

"Sehingga, tidak ada windfall profit dari kenaikan harga minyak seperti tahun lalu," kata Eric ketika dihubungi Republika, Ahad (27/1).

Untuk diketahui, pendapatan negara berhasil melampaui target APBN 2018. Realisasi pendapatan negara berhasil mencapai Rp 1.942,3 triliun atau 102,5 persen dari target. Dengan kinerja pendapatan negara yang berhasil melampaui target, defisit APBN 2018 berhasil ditekan mencapai Rp 259,9 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB. Angka itu lebih rendah dari target defisit dalam APBN 2018 yang sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap PDB.

Sementara, kondisi pada 2019 diprediksi akan berbeda. Eric menyampaikan, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dapat menekan harga minyak dari sisi permintaan. Sementara, menurutnya, produksi minyak bisa mengalami kelebihan suplai jika AS terus menggenjot produksi dan negara-negara anggota OPEC tidak memegang komitmen membatasi produksi.

Bagi pemerintah, kata Eric, akan lebih mudah untuk mencapai target defisit APBN dengan mengendalikan sisi belanja. Ini karena dari sisi penerimaan lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal yang berada di luar kendali pemerintah.

"Efisiensi belanja pegawai dan belanja barang perlu ditingkatkan lagi, selain juga menggenjot penerimaan pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)," kata Eric.

Jika realisasi defisit lebih kecil dari target akibat penerimaan meningkat, menurutnya,  hal ini positif untuk kinerja fiskal. Namun, jika hal itu terjadi akibat belanja yang tidak terserap optimal berarti daya dorong APBN pada pertumbuhan ekonomi tidak optimal. 

Sementara, jika realisasi defisit di atas target APBN, maka kebutuhan pembiayaan semakin besar. Untuk menutup defisit tersebut, kata Eric, kemungkinan perlu dilakukan penambahan utang.

Menurut Eric, saat ini pemerintah perlu mengurangi penarikan utang. Hal ini lantaran porsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) adalah 37 hingga 38 persen.

"Walau banyak dana asing yang masih betah di SBN karena imbal hasil yang relatif tinggi, tapi tetap saja ada risiko arus modal keluar yang bisa menekan rupiah," kata Eric.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement