REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menilai, pelemahan ekonomi Cina tentu memberikan dampak terhadap ekonomi Indonesia secara makro, terutama kinerja ekspor. Sebab, Cina merupakan salah satu pasar utama komoditas dan produk jadi dari Indonesia.
Kasan mengatakan, Cina merupakan negara tujuan ekspor nonmigas pertama bagi Indonesia. Pangsanya sebesar 15 persen dari total ekspor nonmigas di Indonesia sepanjang 2018.
"Kondisi ini membuat gejolak ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut tidak lepas dari pantauan kita," tuturnya kepada Republika.co.id, Selasa (22/1).
Sementara itu, berdasarkan fakta-fakta empiris selama ini, ekspor Indonesia bersifat demand driven. Artinya, perkembangan ekonomi negara tujuan ekspor sangat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Oleh karena itu, Kasan mengatakan, pelemahan perekonomian Cina tentu akan berdampak pada permintaan barang-barang impor Cina. Khususnya, komoditas yang berupa bahan baku seperti crude palm oil (CPO) dan batubara. "Sebab, produksi manufaktur di sana menurun, berarti kebutuhan terhadap produk kita pun ikut menurun," ujarnya.
Menurut Kasan, kemungkinan ini akan diantisipasi pemerintah dengan penetrasi atau pengalihan ke pasar nontradisional lainnya. Ekspansi pasar ekspor ini dilakukan lebih gencar untuk mengkompensasi kemungkinan perlambatan ekspor Indonesia ke Cina. Salah satu pasar baru yang tengah diincar Indonesia adalah negara-negara di Afrika.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance Bhima Yudhistira menilai, perlambatan ekonomi Cina sebenarnya sudah terbaca oleh pasar sejak tiga bulan terakhir. "Salah satu penyebab utamanya, perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat yang mulai memperlihatkan dampaknya," katanya.
Baca juga, Indonesia akan Terkena Dampak Pelambatan Ekonomi Cina
Untuk mengantisipasi dampak terhadap ekspor Indonesia, Bhima menganjurkan pemerintah dapat lebih fokus menjangkau pasar alternatif di luar Cina. Jika sulit mengandalkan ekspor barang jadi, pemerintah juga bisa mendorong ekspor jasa seperti tenaga kerja profesional, jasa konstruksi dan pariwisata.
Selain kinerja ekspor, Bhima menilai, perlambatan ekonomi Cina turut berdampak pada sektor keuangan. Investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang. "Terlihat dari respon rupiah yang melemah di level 14.220 atau 0,35 persen pada sesi perdagangan siang ini (Senin)," ujarnya.
Investor juga cenderung akan menunda masuk ke Indonesia melihat outlook ekonomi global yang melambat. Dampaknya, foreign direct investment (FDI) di tahun 2019 sulit untuk diharapkan tumbuh. Terlebih dengan adanya event pemilihan presiden (Pilpres) yang membuat ekonomi Indonesia cenderung tidak pasti.
Bhima mengatakan, kondisi ini membuat investor cenderung wait and see perbaikan data ekonomi Cina. “Tapi unlikely, Cina akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri,” katanya.
Saat ini, Cina tengah mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam 28 tahun terakhir. Hal ini terjadi akibat melemahnya permintaan domestik dan kenaikan tarif yang ditetapkan oleh AS. Kondisi ini memicu kekhawatiran terhadap ekonomi global karena Cina menyumbang hampir sepertiga pertumbuhan global dalam dekade terakhir.
Berdasarkan analis yang disurvei oleh Reuters pada Senin (21/1), ekonomi Cina diperkirakan tumbuh 6,4 persen pada kuartal Oktober-Desember dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut terbilang melambat dari laju 6,5 persen pada kuartal sebelumnya dan tingkat kesesuaian terakhir terlihat pada awal 2009 selama krisis keuangan global.